FILM “Vina Sebelum Tujuh Hari” memancing perhatian publik. Film bergenre horor yang berangkat dari kisah nyata di Cirebon, Jawa Barat, menuai pujian sekaligus kritik sekaligus. Mereka yang memuji beralasan film ini membantu mengingatkan kembali tragedi pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Vina dan kekasihnya Muhammad Rizki alias Eki pada 27 Agustus 2016, di Cirebon oleh para pemuda anggota gank motor.
Apalagi tiga tersangka dari 11 pelakunya belum tertangkap hingga kini. Sementara itu, delapan tersangka sudah dipidana dan satu terpidana Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) berinisial ST bahkan sudah bebas dari penjara karena hukuman pidananya paling rendah. Ekspektasi publik kembali bangkit bahwa film ini dapat mengingatkan kembali akan kasus Vina Cirebon dan masih ada tiga tersangka yang wajib ditangkap.
Penegak hukum harus tetap semangat untuk memburu pelakunya demi keadilan bagi para korban dan keluarganya. Mereka yang mengkritik berdalih bahwa film ini mengeksploitasi penderitaan keluarga korban. Mem-visualisasi kejahatan seksual secara vulgar dan menambah luka dalam bagi keluarga korban yang terpaksa harus membuka kembali memori duka delapan tahun silam. Film ini dianggap kurang ber-perspektif korban (victim-oriented) dan berpotensi menimbulkan reviktimisasi (secondary victimization) bagi keluarga korban. Apalagi, sudah muncul video dari Iptu Rudiana, ayah kandung almarhum Eki, yang juga dibunuh bersama-sama Vina. Nama Iptu Rudiana, Kapolsek Kapetakan, Cirebon mencuat setelah ia memberikan keterangan terkait kasus yang menewaskan anaknya. Ia pun memberikan keterangan dengan mengunggah video di akun Instagram @rudianabison.
Dalam video yang diunggah pada Jumat (17/5), ia meminta masyarakat untuk tidak memberikan pernyataan yang menyakiti keluarga korban. “Saya adalah orangtua kandung dari Muhammad Rizky atau Eky. Saya mohon kepada seluruh warga negara Indonesia, agar jangan membuat kami lebih sakit,” katanya dalam video. Rudi menuturkan, ia tidak berdiam diri selama ini. Ia bersama dengan jajaran satuan Reskrim, ikut menangkap beberapa pelaku pembunuhan anaknya. “Eki adalah anak kandung kami yang mana menjadi korban dari kelompok-kelompok yang kejam. Saya tidak diam dan saya terus berupaya dan bekerja sama dengan Reskrim,” katanya. “Terbukti beberapa kami amankan. Sisanya sedang kami perjuangkan untuk dilakukan pengungkapan, sekali ini saya mohon doa mudah-mudahan orang-orang yang telah mengambil nyawa anak saya bisa segera terungkap,” sambung dia (Cnnindonesia.com).
Terlepas pro kontra dari film ini, ada satu fenomena yang menarik yang disebut sebagai “No Viral No Justice” belakangan ini. Apabila suatu perkara hukum mentok dan tak kunjung terungkap pelakunya atau tak diproses hukum, maka solusinya dengan mem-viral-kannya melalui media sosial seperti Instagram, Tiktok, X, Youtube, Whatsapp, LINE, Telegram dan lain sebagainya. Apalagi saat ini media tidak hanya dimonopoli oleh media konvensional seperti televisi atau radio. Setiap orang bisa memiliki media-nya sendiri, bisa siaran sendiri, membuat podcast, kanal, menganalisis dan beropini tanpa beban perlunya kepakaran, sertifikasi profesional, dan kapasitas keilmuan tertentu. Ide-nya adalah, apabila tidak viral, maka tidak akan mendapat perhatian dari penegak hukum, demikian adagium-nya.
Ada yang mengatakan bahkan bahwa prinsip “No Viral No Justice” adalah ‘kasta tertinggi’ hukum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari UU dan UUD 1945 sekalipun! Bisa jadi istilah ‘kasta tertinggi’ ini adalah lucu-lucuan, namun sekaligus menyiratkan pesan keprihatinan terhadap penegakan hukum di Indonesia. Faktanya tidak semua kasus terselesaikan, tidak semua pelaku kejahatan dapat ditangkap. Tidak semua penderitaan korban dapat diakomodasi. Bisa jadi karena memang teknis kasusnya sulit karena kendala pembuktian, investigasi, penyidikan dan pendalaman kasus dengan data yang minim. Namun bisa jadi juga karena adanya intervensi pihak-pihak tertentu karena alasan politik, sosial-budaya, melindungi keluarga, menyuap penegak hukum hingga ‘masuk angin’ dan cara-cara lainnya yang di luar hukum.
Kasus Nirbhaya
Barangkali kita bisa belajar dari kasus Nirbhaya di India, di mana pengungkapan kasus kejahatan seksual dan pembunuhan dapat diproses dengan baik tanpa mengeksploitasi penderitaan korban dan keluarganya. Sampai kini wajah asli Nirbhaya tak pernah muncul di media. Pun, nama nama Nirbhaya adalah nama samaran atau alias. Nama samaran inilah yang digunakan oleh media demi melindungi korban dan keluarganya. Kasus Nirbhaya adalah kasus pemerkosaan dan pembunuhan beramai-ramai (gang rape) di Delhi tahun 2012. Mirip dengan kasus Vina dan Eki. Terjadi pada 16 Desember 2012, di Munirka, lingkungan di South New Delhi.
Insiden tersebut terjadi ketika Jyoti Singh, seorang mahasiswi magang fisioterapi berusia 22 tahun, dipukuli, diperkosa beramai-ramai, dan disiksa di dalam bus pribadi yang ia tumpangi bersama teman pria-nya, Avnindra Pratap Pandey. Ada enam orang lain di dalam bus, termasuk sopirnya, semuanya memperkosa wanita tersebut dan memukuli temannya (New York Times, 06/01/2013). Dia dilarikan ke Rumah Sakit Safdarjung di Delhi untuk perawatan dan dipindahkan ke Singapura sebelas hari setelah penyerangan, di mana dia meninggal karena luka-lukanya dua hari kemudian (Times of India, 20/03/2020).
Insiden ini mendapat liputan luas secara nasional dan internasional dan dikutuk secara luas, baik di India maupun di luar negeri. Selanjutnya, masyarakat gencar lancarkan protes terhadap pemerintah negara bagian dan pusat karena gagal memberikan keamanan yang memadai bagi perempuan. Di New Delhi, ribuan pengunjuk rasa bentrok dengan pasukan keamanan. Protes serupa terjadi di kota-kota besar di seluruh negeri. Undang-undang India tidak mengizinkan pers untuk mempublikasikan nama korban pemerkosaan, korban dikenal luas sebagai Nirbhaya, yang berarti “tak kenal takut”.
Perjuangan serta kematiannya menjadi simbol perlawanan perempuan terhadap pemerkosaan di seluruh dunia (The Hindu, 31/08/2013). Dalam kasus Nirbhaya, semua terdakwa ditangkap dan didakwa melakukan penyerangan seksual dan pembunuhan. Salah satu terdakwa, Ram Singh, meninggal dalam tahanan polisi karena kemungkinan bunuh diri pada 11 Maret 2013. Terdakwa lainnya diadili di pengadilan jalur cepat. Pada 10 September 2013, empat terdakwa dewasa – Pawan Gupta, Vinay Sharma, Akshay Thakur dan Mukesh Singh (saudara laki-laki Ram Singh) – dinyatakan bersalah atas pemerkosaan dan pembunuhan dan tiga hari kemudian dijatuhi hukuman mati.
Pada sidang banding pada 13 Maret 2014, Pengadilan Tinggi Delhi menguatkan putusan bersalah dan hukuman mati. Pada 18 Desember 2019, Mahkamah Agung India menolak kasasi dari para pelaku. Keempat terpidana dewasa tersebut dieksekusi dengan cara digantung pada 20 Maret 2020. Sementara itu, remaja Mohammed Afroz dihukum karena pemerkosaan dan pembunuhan dan dijatuhi hukuman maksimal tiga tahun penjara di fasilitas rehabilitasi, sesuai dengan Undang-Undang Peradilan Anak India (Wikipedia). Sebagai akibat dari protes tersebut, pada Desember 2012, sebuah komite peradilan dibentuk untuk mempelajari dan menerima saran masyarakat mengenai cara terbaik untuk mengubah UU guna mempercepat penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku kejahatan seksual. Setelah mempertimbangkan sekitar 80.000 saran, komite tersebut menyampaikan laporan yang menunjukkan bahwa kegagalan pemerintah dan polisi adalah akar penyebab kejahatan terhadap perempuan.
Tindak lanjutnya, pada 2013, Undang-Undang Hukum Pidana (Amandemen) diundangkan, beberapa undang-undang baru disahkan, dan enam pengadilan jalur cepat baru dibentuk untuk mengadili kasus pemerkosaan. Para pengamat di India mengatakan bahwa sistem hukum di India masih lamban dalam mengadili kasus-kasus pemerkosaan. Namun sebagian besar setuju bahwa kasus Nirbhaya telah menimbulkan perhatian yang luar biasa terhadap kejahatan seksual kepada perempuan dan statistik menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah perempuan yang bersedia mengajukan laporan kejahatan yang terjadi terhadap diri mereka (Wikipedia).
Belajar dari kasus Nirbhaya di New Delhi, ada cara yang lebih elegan untuk menuntut keadilan terhadap korban kejahatan seksual dengan meminimalkan penderitaan dan reviktimisasi terhadap korban dan keluarganya. Namun tentunya memerlukan prasyarat hadirnya lingkungan sosial, budaya, politik, dan hukum yang memadai serta didukung kesadaran masyarakat yang tinggi. Bagaimanapun, perhatian publik dan insan media terhadap kasus kejahatan yang belum terungkap adalah patut disyukuri dan terus kembangkan dalam iklim “No Viral No Justice” seperti saat ini.
Lahirkan terus tayangan-tayangan yang pro dengan keadilan bagi para korban dan keluarganya. Dengan catatan, harus tetap dapat menjamin perlindungan terhadap hak-hak para korban. Misalnya, dalam penggunaan nama alias bagi para korban, lalu dengan tidak memvisualisasi wajah dan tindak kejahatan kepada korban secara brutal, serta dengan tidak mengeksploitasi penderitaan keluarga secara berlebihan. Bagi para khalayak dan netizen, mari tetap bijak dalam beropini. Jangan beropini tanpa fakta dan data ilmiah yang malah menambah derita keluarga korban. Terakhir, kepada para penegak hukum, semoga terus semangat mengawal kasus kejahatan seksual apapun dan di manapun tanpa harus ter-viral-kan terlebih dahulu. “Viral or not, Justice Must be Enforced!”
Heru Susetyo- Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia/ Sekjen Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia/ Pendiri Masyarakat Viktimologi Indonesia/ Anggota Dewan Riset Daerah DKI Jaya 2018 – 2022
Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2024/05/20/120751865/kasus-vina-cirebon-nirbhaya-new-delhi-dan-no-viral-no-justice