“LAW floats in a sea of ethics”. Begitulah kira-kira Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953 – 1969), Earl Warren, menggambarkan hubungan antara etika dan hukum. Hukum berjalan di atas koridor etika sehingga hukum yang ditegakkan akan bertaut dan berkelindan dengan etika. Begitu juga etika akan memberikan “rasa” kepada hukum, terutama dalam menegakkan keadilan. Dalam perkembangannya, etika kemudian bertransformasi menjadi etika positif. Etika positif ini berupa prinsip etika dan perilaku yang menjadi suatu standar bagi komunitas atau profesi tertentu (Asshiddiqie, 2014). Salah satunya adalah profesi hukum. Oleh karena itu, kita mengenal beberapa kode etik dan pedoman perilaku bagi para hakim, advokat, notaris, jaksa, dan profesi lainnya yang diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Penegakan terhadap kode etik juga menjadi alternatif dalam pemberian sanksi, selain sanksi pidana. Selain itu, kode etik yang tidak kalah penting adalah kode etik terhadap profesi yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Para ASN dan pejabat publik di semua cabang kekuasaan negara harus memiliki standar etik yang ketat dalam menjalankan fungsi penyelenggaraan negara. Penegakan terhadap kode etik ini juga harus diiringi dengan mekanisme peradilan yang berfungsi untuk memutus etika para pejabat tersebut dengan mengacu kepada kode etiknya. Dalam konteks Indonesia, misalnya, DKPP yang berfungsi untuk menegakkan etika penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU dan Bawaslu. Lalu, ada juga Majelis Kehormatan Dewan (MKD) yang dapat memutus permasalahan etik anggota DPR. Di ranah yudisial juga ada Majelis Kehormatan Hakim untuk memerika etika dan perilaku para hakim di bawah peradilan MA dan juga Majelis Kehormatan MK yang dibentuk untuk menegakkan kode etik hakim MK.
Kondisi Indonesia kini Pancasila dan UUD 1945 sejatinya tidak hanya merupakan sumber hukum bagi pembentukan hukum di Indonesia, tetapi juga menjadi sumber etika. Ajaran etika biasanya sangat terkait dengan ajaran agama, yang dalam hal ini juga dijiwai oleh sila pertama Pancasila. Norma etika akan menyinggung tentang hal yang disarankan untuk dikerjakan; dibolehkan; atau hal yang disarankan untuk ditinggalkan. Di sisi lain, norma agama, selain ketiga hal itu juga mengatur tentang kewajiban dan larangan. UUD 1945 sebagai sumber etika, setidaknya dapat dilihat dalam Pasal 9 UUD 1945. Pasal ini mengatur tentang sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam sumpah itu disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden, atas nama Allah akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Oleh karena itu, ketika seorang presiden atau wakil presiden melenceng dari garis konstitusi dan hukum, maka sejatinya dia telah melanggar sumpahnya, yang pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia, tapi di akhirat karena bersumpah atas nama Allah.
Dalam konteks kebangsaan, etika dalam kehidupan berbangsa sangat penting sebagai acuan dasar bagaimana para penyelenggara negara menjalankan Pancasila dan UUD 1945 dalam koridor etika dan juga moralitas. Untuk menguatkannya, Indonesia memiliki TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam pertimbangannya, disebutkan bahwa pengamalan etika kehidupan berbangsa diperlukan agar Indonesia mencapai tujuannya. Ditambah lagi, kini etika kehidupan berbangsa mengalami kemunduran sehingga turut terjadinya krisis multidimensi. TAP MPR tersebut memang dibuat 2001 karena kondisi bangsa yang masih mencoba keluar dari krisis multidimensi saat itu. Namun, rasanya TAP MPR tersebut seolah menjadi relevan kembali bila dikaitkan dengan kondisi bangsa saat ini. Contohnya, jumlah kasus korupsi yang ditangani KPK kurun waktu 2004 – 2022 sebanyak 1.351 kasus dengan mayoritas dilakukan di instansi pemerintah kabupaten/kota sebanyak 548 kasus dan diikuti oleh instansi kementerian/lembaga dan pemeritah provinsi masing-masing 422 kasus dan 174 kasus. Bahkan, rentang Januari – Oktober 2023, KPK telah menangani setidaknya 85 kasus.
Selain kasus korupsi, yang tidak kalah adalah kasus etik hakim konstitusi. Dalam memutus perkara pengujian UU Pemilu dengan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Majelis Kehormatan MK memutuskan hakim konstitusi mendapatkan teguran lisan maupun tertulis. Yang paling berat adalah pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua MK melalui Putusan MKMK Nomor 02/MKMK/L/11/2023. Anwar terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan untuk para hakim MK. Terkini, permasalahan etik juga mengancam Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam salah satu kesempatan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa dalam Pasal 299 UU Pemilu, presiden dan wakil presiden memiliki hak untuk kampanye. Pasal tersebut juga diperkuat dengan Pasal 281 ayat (1) yang memperbolehkan pejabat negara dan daerah ikut kegiatan kampanye selama tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara, serta menjalani cuti luar tanggungan negara.
Namun demikian, penggunaan pasal ini menimbulkan kritik dari banyak pihak. Pertama, dalam kapasitasnya sebagai Presiden, Jokowi tentu akan sangat sulit untuk tidak menggunakan fasilitas negara atau bahkan berpotensi melakukan “kampanye” dengan menggunakan fasilitas negara dalam rangka kunjungan kerja ke daerah. Kedua, penafsiran atas bolehnya presiden kampanye juga menimbulkan perdebatan. Membolehkannya presiden berkampanye karena kapasitas beliau sebagai calon petahana; mendukung partai politiknya; atau mendukung calon presiden yang dicalonkan oleh partai politiknya. Hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi Presiden Jokowi saat ini: beliau tidak dapat lagi mencalonkan diri dan tidak sedang berkampanye untuk partainya.
Argumentasi ini diperkuat dengan contoh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Pemilu 2014 mengajukan cuti untuk berkampanye bagi Partai Demokrat karena kapasitas beliau sebagai Ketua Umum. Namun, yang perlu diingat, SBY tidak berkampanye untuk Prabowo-Hatta, meskipun pasangan itu didukung oleh Partai Demokrat. Dalam konteks kampanye untuk calon presiden penerusnya, pernah dilakukan oleh Barrack Obama untuk Hillary Clinton. Obama jelas mendukung calon penerusnya yang berasal dari partai yang sama, yakni Partai Demokrat. Namun menariknya, kampanye Obama untuk Hillary ini dinilai bersejarah karena sebelumnya tidak pernah seorang Presiden AS berkampanye total untuk mendukung penerusnya. Bahkan ketika Al Gore mencalonkan diri pun, dia memilih untuk menjaga jarak dengan Bill Clinton, terutama pascakasus Clinton dengan Monica Lewinsky. Padahal Al Gore adalah wakil presiden pada masa itu. Kritik ketiga adalah salah satu pasangan calon wakil presiden adalah Gibran Rakabuming Raka yang notabene adalah anak kandung Presiden Jokowi. Apabila Jokowi memutuskan untuk berkampanye, besar kemungkinan akan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Padahal, pasangan ini juga tidak diusung oleh partai Jokowi, yakni PDI-Perjuangan sehingga akan menjadi preseden baru. Apalagi proses pencalonan Gibran tidak lepas dari akrobat politik yang terjadi di MK dengan menghasilkan penambahan norma terhadap Pasal 169 huruf q UU Pemilu dan penjatuhan sanksi etik kepada Ketua MK.
Oleh karena itu, ketiga kritik ini perlu dipertimbangkan dalam kerangka etika. Memperkuat kerangka etik MPR Nomor VI/MPR/2001 telah memberikan pedoman etika terhadap etika sosial dan budaya; etika politik dan pemerintahan; etika ekonomi dan bisnis; etika penegakan hukum yang berkeadlian; etika keilmuan; dan etika lingkungan. Dalam konteks ini, etika dalam politik dan pemerintahan yang dirasa telah banyak dilanggar oleh para pemangku kebijakan. Etika politik dan pemerintahan bermaksud untuk mewujudkan pemerintahan bersih, efisien, dan efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa. Etika pemerintahan juga mengamanatkan agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Dengan demikian, kita berharap nantinya setiap pejabat dan elite politik memiliki sikap jujur, amanah, sportif. Siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijaknnya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Berbagai etika yang terdapat dalam TAP Nomor VI/MPR/2001 perlu diimplementasikan secara tegas dalam level UU. Adanya RUU Etika Penyelenggara Negara dirasa penting agar penegakkan etika semakin kuat, khususnya untuk para penyelenggara negara. Sejatinya, RUU ini telah masuk daftar Prolegnas 2020-2024, tetapi belum ada kepastian kapan pembahasannya. Padahal, persiapan pembentukan RUU ini telah lebih lama lagi. Namun, RUU ini ternyata masih tersimpan dalam kotak pandora dan entah kapan kotak tersebut akan terbuka.
Ghunarsa Sujatnika- Dosen Hukum Tata Negara FHUI / Peneliti Pusat Studi HTN FHUI
Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2024/02/04/08441521/menegakkan-kembali-etika-kehidupan-berbangsa