Indonesia selama ini dipuji dunia sebagai negara hukum dan negara demokrasi Islam terbesar yang mampu merawat keragaman. Namun, dalam waktu singkat menjelang Pemilihan Umum 2024, negara ini berubah menjadi negara kekuasaan. Persoalan utama Pemilu 2024 adalah netralitas palsu dan kecurangan yang diperlihatkan justru oleh penyelenggara negara, dengan pengerahan kekuatan struktur negara dan sumber dana tanpa batas.
Kecurangan masif dimulai dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu kepada publik bahwa semua wajar tanpa pelanggaran hukum. Namun, sebenarnya keruntuhan demokrasi sedang terjadi, perlahan tetapi pasti, dan membahayakan kohesi masyarakat. Berbagai kecurangan politik itu dapat dikategorikan sebagai kekerasan budaya. Dalam era digital ini, kekerasan tidak harus dalam bentuk perang dan penyerangan fisik, tetapi juga penyerangan terhadap kesadaran berupa pengikisan nilai-nilai, ide, dan peranan yang ditujukan terus-menerus kepada seseorang atau kolektiva (Greenland & Mocek, 2020).
Kekerasan budaya dilakukan secara simbolik, termasuk melalui simbol agama, potret pemimpin, pidato, poster yang ada di mana-mana dan memengaruhi kesadaran (Galtung, 1990). Publik cemas, kehilangan kepercayaan, tetapi tidak tahu ke mana bertanya kebenaran.
Kekuatan oposisi politik sangat lemah. Selebihnya adalah mayoritas masyarakat diam meskipun ada kelompok kecil gerakan masyarakat sipil yang cukup beragam, para aktivis, forum-forum pemantau pemilu, dan mahasiswa yang sesekali bergerak. Kekuatan ini kalah dengan gegap gempita serbuan penyadaran palsu dan politik uang. Universitas yang seharusnya menjadi pionir demokrasi—karena menghasilkan manusia kritikal dan skeptikal serta berargumentasi berdasarkan data berbasis bukti—kali ini banyak diam, kecuali membiarkan mahasiswa turun ke jalan.
Mungkin hal itu karena selama ini keberadaan universitas dan lembaga riset diabaikan, termasuk hasil penelitian sains teknologi, ilmu sosial, dan humaniora yang tidak sungguh-sungguh menjadi dasar berbagai kebijakan.
Jalan kebudayaan
Karena jalan politik dan hukum tidak memberi jalan terang, malah saling mengunci, maka tulisan ini menawarkan jalan kebudayaan untuk mengembalikan Indonesia pada kesejatiannya. Kebudayaan modern, termasuk sistem hukum negara modern, harus dapat disinergikan dengan kebudayaan lokal. Jepang adalah contoh terbaik, bagaimana modernisasi di segala bidang disinergikan dengan revitalisasi kebudayaan tradisional.
Gaya hidup modern—karena temuan sains teknologi—adalah keniscayaan. Namun, nilai-nilai etika moral ajaran tentang kebaikan dan kedurjanaan tetap abadi, menghidupi keseharian hidup.
Sinergi semacam itulah yang hilang di sini. Bahkan, terjadi penyingkiran kebudayaan lokal, terutama akibat kesalahan kebijakan dan nir kesantunan dalam berpolitik.
Kebudayaan tumbuh sesuai dengan konteks geografi, sejarah, dan struktur sosial masyarakatnya. Kebudayaan adalah sistem berpikir, berpengetahuan, dan berhukum yang digunakan untuk kelangsungan hidup suatu komunitas. Sistem berhukum masyarakat mengutamakan nilai etika moral dan perasaan bersama tentang nilai kebenaran, kejujuran, dan kepatutan. Dalam kebudayaan mana pun dapat ditemui nilai-nilai yang mengatur hubungan antara manusia dan Sang Pencipta, manusia dan lingkungan alam, serta manusia dan sesamanya.
Berpegangan pada nilai-nilai itulah mereka mengembangkan sistem bertani, berlayar, berteknologi, berkesenian, mendirikan satuan politik terkecil di desa, berorganisasi, dan banyak lagi. Mereka memiliki kapasitas menciptakan hukumnya sendiri dan forum-forum penyelesaian sengketa yang bertujuan win-win solution agar tidak ada yang kehilangan muka.
Penghukuman atas kesalahan dilakukan dengan sanksi sosial berupa pengucilan, yang dengan sendirinya menimbulkan rasa malu. Tidak ada sanksi fisik yang menyakiti. Keadaban publik dalam berelasi dengan kelompok kawan ataupun lawan pun dimiliki masyarakat. Berbagai temuan arsip kuno tentang cara hidup berbagai kelompok etnis di Nusantara sudah memperlihatkannya. Banyak yang tertulis dalam aksara lokal. Tugas negara adalah melindungi hak dasar mengembangkan kebudayaan sesuai amanat konstitusi. Manusia bisa musnah jika kebudayaannya hancur akibat peperangan, penaklukan, bencana, atau kebijakan pembangunan yang salah berakibat kerusakan parah ekosistem.
Arah kebijakan developmentalist yang memprioritaskan uang besar, cepat, dan mercusuar adalah kebijakan salah yang menghancurkan ruang hidup, bahkan berdampak pada pemiskinan masyarakat adat rentan, khususnya perempuan. Kebijakan telah salah memisahkan konsep teknokratik dan pembangunan manusia dengan meniadakan partisipasi bermakna, bahkan tanpa persetujuan (consent) manusia yang tinggal di habitat kebudayaannya dari generasi ke generasi.
Saat ini kebudayaan lokal menuju kepunahan seiring dengan terjadinya deforestasi hutan serta rusaknya ekosistem pantai, sungai, danau, dan keanekaragaman hayati. Hutan bukanlah semata tambang dan pohon bernilai triliunan rupiah, tetapi di dalamnya ada manusia, flora, dan fauna sebagai sumber pengetahuan, makanan, dan obat-obatan yang jika punah tidak terbarui. Pengelolaan sumber daya alam juga ruang bagi skandal korupsi yang sangat menghancurkan kemanusiaan. Korupsi berkorelasi langsung dengan hilangnya dana bagi pemenuhan hak-hak kesehatan, pendidikan, berbagai layanan publik, dan berdampak pada pemiskinan. Sudah seharusnya kita mengembalikan demokrasi dan kedaulatan rakyat melalui penguatan budaya masyarakat dan komunitas.
Caranya adalah membiarkan masyarakat mengembangkan cara pikir, cara berdemokrasi, dan cara berhukum sesuai dengan rasa keadilannya sendiri. Dalam alam kebebasan hakiki semacam itu, masyarakat bisa mengembangkan pengetahuan tentang apa yang paling dibutuhkan terkait kedaulatan pangan, kedaulatan energi, pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati, serta berkesenian, termasuk menghasilkan produk budaya yang dibeli dunia.
Harsya Bachtiar (1976) pernah mengingatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah satu-satunya nasion karena di dalamnya ada nasion-nasion kecil, tua, dan berbasis kesukubangsaan.
Itulah masyarakat adat, yang mendiami kepulauan Nusantara, jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara modern. Memulihkan Indonesia melalui jalan kebudayaan adalah mengembalikan Indonesia ke jalan sejarah, kesejatian, dan berkeilmuan demi kejayaan masa depan.
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/22/pemilu-dan-jalan-kebudayaan-bagi-indonesia