Pada Selasa (11/10) Bidang Studi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) menyelenggarakan acara seminar nasional yang mengangkat tema Perkembangan Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi. Seminar Nasional ini mengundang narasumber tamu yaitu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Pertama (2003 – 2008) sekaligus Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Seminar nasional yang dipandu oleh Yunani Abiyoso, S.H., M.H. dan Ryan Muthiara Wasti, S.H., M.H. ini berlangsung secara luring dengan bertempat di Auditorium Djokosoetono FH UI.
Seminar umum tersebut dibuka dengan pengantar singkat yang disampaikan oleh Ryan Muthiara Wasti, S.H., M.H. Dalam kesempatan ini, Ryan menuturkan bahwa seminar nasional ini dilaksanakan sebagai upaya untuk mempertajam dan memperbaharui informasi seputar prosedur bersidang di MK. Lebih lanjut, keberadaan seminar nasional ini dapat memperdalam pengetahuan seputar mekanisme penanganan perkara – perkara yang dipersidangkan di MK. “Dengan kehadiran Prof. Jimly selaku Ketua MK pertama, mahasiswa yang notabene menjadi peserta diharapkan dapat memenuhi rasa ingin tahunya terhadap mekanisme penyelesaian sengketa di MK,” terang Ryan.
Pengantar tersebut dilanjutkan dengan pemaparan materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Jimly menyampaikan bahwa kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945 kepada MK bersifat rigid dan berbeda dari Mahkamah Agung (MA) yang bersifat lebih fleksibel. Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan kewenangan peradilan menjadi begitu sulit di MK.
“Contoh dari saling terhubungnya antar kamar peradilan di Indonesia dalam hal ini MK dan MA dapat dilihat dalam kasus penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah. Sengketa pemilihan kepala daerah pada dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan penyelesaian sengketanya di bawah MA. Namun, dikarenakan adanya permohonan ke MK dan kondisi yang mengharuskan MK untuk ikut serta dalam penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Daerah, kewenangan yang tadinya berada di MA tersebut beralih ke MK yang dikaitkan dengan konteks kewenangan MK berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai tempat penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum,” terang Prof. Jimly.
Selepas pemaparan dari Prof. Jimly tersebut, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab di mana terdapat belasan mahasiswa yang maju ke depan panggung dari Auditorium Djokosoetono FH UI untuk menyampaikan pertanyaannya. Pertanyaan yang diberikan pun variatif dan mendalam terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh MK beserta prosedur penyelesaiannya. Dengan waktu yang terbatas tersebut, sayangnya tidak semua pertanyaan dapat disampaikan kepada Prof. Jimly. Berbagai pertanyaan yang disampaikan tersebut, tidak hanya berkaitan dengan konsep yang telah diajarkan pada ruang kelas semata. Terdapat beberapa pertanyaan yang menyinggung langsung beberapa contoh konkret yang pernah terjadi di masyarakat seperti perbedaan penyikapan MK dalam menyelesaikan kasus Sengketa Hasil Pemilihan Umum. Dalam pertanyaan yang disampaikan tersebut, terdapat permasalahan di mana terdapat putusan yang hanya memerintahkan penghitungan suara ulang dan putusan yang dapat menobatkan pihak yang kalah sebagai pemenang.
“Dalam kasus Sengketa Hasil Pemilihan Kepala Daerah, penyelesaian sengketa didasarkan pada kasus yang terjadi di masing-masing tempat dan tidak terdapat standarisasi penyelesaian yang rigid. Misalnya sengketa yang terjadi di Kota A di mana calon 1 yang memenangkan kontestasi terbukti melakukan kecurangan berdasarkan pemeriksaan persidangan atas permohonan yang diajukan oleh Calon 2. Namun, Calon 1 tetap dinyatakan sebagai pemenang karena kecurangan yang terjadi tidak membuat terjadinya perubahan terhadap hasil akhir dari perolehan suara,” jelas Prof. Jimly.