Depok. Unit Riset Publikasi dan Sitasi bekerjasama dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyelenggarakan webinar dengan tema “Menuju KUHP Baru Perspektif: Hukum Adat, Hukum Islam, dan Hukum Jinayat di Aceh.” Webinar ini dilaksanakan secara online dengan 327 peserta yang hadir dalam zoom meeting pada Selasa, 15 November 2022.
Baru-baru ini, Pemerintah kembali mendorong pembahasan dari Rancangan KUHP dengan mengeluarkan inventarisasi 14 masalah krusial yang umumnya landasan ketentuan bermasalah tersebut berkaitan dengan hukum adat dan hukum Islam yang menjadi landasannya. Dalam rangka membahas permasalahan tersebut secara komprehensif, diperlukan suatu wadah untuk mendiskusikan RKUHP dari berbagai perspektif.
Pembicara pertama, Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., mempresentasikan “Pembaruan Hukum Pidana.” Dalam pemaparannya, Prof. Topo menjelaskan 3 pilar pembaruan hukum pidana, yaitu: Tindak Pidana, Tanggung Jawab Pidana, dan Pidana dan Pemidanaan.
Pembaharuan hukum pidana pada pokoknya merupakan suatu usaha untuk melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum sesuai dengan nilai-nilai umum sosio-politik, sosio- filosofik, dan nilai-nilai kultural masyarakat Indonesia.
“sebetulnya Buku Saku RKUPH diharapkan bisa mengurangi overcrowding yang ada dilapas-lapas saat ini, juga bisa menjadi semacam payung atau landasan kalau undang-undang lain yang mau mengatur restorative justice. Itu landasannya atau payung hukumnya yang sebenarnya sudah ada di buku 1 RUKHP itu” kata Prof. Topo Santoso
Lebih dari 77 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dibuat sendiri. Walaupun dalam perjalanannya ada beberapa revisi, namun KUHP yang dipakai hingga hari ini merupakan KUHP warisan belanda yang eksis sejak 1 (satu) abad silam. Meskipun terdapat beberapa bagian yang sudah diganti dengan ketentuan di undang-undang sektoral, mayoritas ketentuan dari KUHP tetap berlaku sampai dengan hari ini yang mana tentu sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Sedangkan untuk pembicara kedua, Neng Djubaedah, S.H., M.H., Ph.D. memaparkan Pasal 2 RUKHP. Menurutnya pembahasan tersebut sangat penting terkait rencana penghapusan pasal tersebut.
“Kode aspek hukum islam itu sangat penting terutama terkait teori yang saya kemukakan Teori Neo Receptio a Contrario. Ini adalah teori hubungan Hukum Islam, Hukum Adat, Hukum Barat atau Hukum Buatan Manusia karena semuanya tidak mungkin dapat ditanggung dengan Rancangan Undang-Undang KUHP ada ketentuan-ketentuan dalam masyarakat adat yang mungkin bagi orang islam itu juga dapat tidak bertentangan dengan hukum islam.” Kata Ibu Neng Djubaedah
Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Di beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana. Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat.
Webinar ini, menghadirkan juga pembicara lainnya yaitu: Dr. Dra. Rosmawardani, SH. MH. (Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh 2020- 2021) dan Dr. Sofyan Pulungan, S.H., M.A. (Dosen Hukum Adat FHUI). Webinar ini bertujuan dapat memahami dari ketentuan draft Rancangan KUHP yang ada saat ini serta dengan adanya kegiatan ini berdampak positif untuk menjadi ruang beradu gagasan terkait dengan ketentuan bagian-bagian krusial dari Rancangan KUHP utamanya terkait Hukum Islam, Hukum Adat dan Hukum Jinayat di Aceh. (Humas/aniapr)