Beberapa waktu lalu, saya membuat sebuah tulisan berjudul “Kritik atas Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP” (Kompas, 24 Oktober 2022). Tulisan tersebut memaparkan kritik terhadap RKUHP karena merumuskan pertanggungjawaban korporasi hanya berdasarkan teori identifikasi (identification theory) dan pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability), dan gagal memasukkan dasar pertanggungjawaban korporasi atas dasar kesalahan korporasi (corporate fault).
Tulisan kali ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap rumusan lain dari RKUHP yang tidak kalah bermasalahnya, yaitu rumusan RKUHP terkait pertanggungjawaban dari pengurus korporasi.
Pasal 37 RKUHP menyatakan “Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat: …b. dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.” Penjelasan Pasal 37 huruf b mengatakan bahwa ketentuan ini merupakan bentuk pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) yang memungkinkan “pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya.”
Sementara itu, Penjelasan Pasal 48 RKUHP menyatakan bahwa jika terjadi tindak pidana korporasi, maka salah satu kemungkinan pertanggungjawaban yang dapat terjadi adalah “Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab.” Lebih jauh Penjelasan ini menyatakan pula bahwa “jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu Korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sendiri, atau Korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja.”
Tulisan ini akan menunjukkan bagaimana rumusan di atas telah dipraktikkan di dalam beberapa putusan terkait pencemaran lingkungan. Kesimpulannya mengejutkan: pelanggaran HAM melalui pengadilan. Pelanggaran yang terjadi ini akan memperoleh dasar hukum, karena RKUHP justru memungkinkan adanya pemidanaan seseorang atas perbuatan pidana orang lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP.
Pemenjaraan atas Perbuatan Orang Lain
Di dalam beberapa kasus lingkungan, terdapat beberapa putusan di mana pengadilan menjatuhkan pidana badan (penjara atau kurungan) kepada seorang pengurus, meskipun pengurus ini tidak pernah diadili. Di perkara Nomor 228/Pid.Sus/2013/PN.PLW, terdakwa adalah PT API, yang selama persidangan diwakili oleh Sdr. TKY, seorang direktur.
Dalam putusannya, PN Pelalawan menghukum terdakwa PT API dengan denda. Namun demikian, hakim pun menyatakan bahwa apabila denda ini tidak dibayar, maka Sdr. TKY dikenakan kurungan. Putusan ini diperkuat sampai Mahkamah Agung. Dari putusan ini terlihat bahwa seorang pengurus, dapat dihukum kurungan meskipun ia tidak pernah diadili sebagai terdakwa.
Pemenjaraan tanpa proses peradilan tampak lebih jelas lagi dalam putusan Mahkamah Agung No. 1450 K/Pid.Sus/2013. Terdakwa satu-satunya di dalam kasus ini adalah PT KPSS, yang selama persidangan diwakili oleh Sdr. WDB. Dalam putusannya, selain menjatuhkan denda kepada terdakwa (PT KPSS), hakim juga menjatuhkan pidana penjara kepada Sdr. WDB, meskipun jelas di dalam kasus ini Sdr. WDB bukanlah terdakwa.
Di dalam kasus lainnya, seorang terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana meskipun tidak jelas kontribusinya di dalam tindak pidana. Hal ini tampak jelas di dalam Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru No. 186/Pid.Sus/2015/PTPBR, dengan terdakwa Sdr. KS selaku asisten kepala kebun PT JJP. Terdakwa dituntut pertanggungjawaban pidana atas kebakaran yang terjadi di wilayah konsesi perusahaan.
Di dalam kasus ini, penuntut umum maupun majelis hakim tidak menguraikan apa kontribusi terdakwa di dalam tindak pidana yang didakwakan. Bahkan majelis hakim menyadari bahwa terdakwa adalah pengganti dari kepala kebun yang sebelumnya telah mengundurkan diri. Putusan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung, yang juga menyadari bahwa terdakwa bukanlah orang yang berada langsung di lapangan ketika kebakaran terjadi. Dari putusan ini tampak bahwa satu-satunya kontribusi terdakwa adalah bahwa ia merupakan asisten kepala kebun, seolah-oleh pekerjaan ini adalah pekerjaan ilegal dan melanggar hukum.
Miskonsepsi Pertanggungjawaban Pengganti
Di dalam beberapa putusan dengan terdakwa pengurus korporasi, hakim secara eksplisit menyatakan bahwa di dalam hukum pidana berlaku pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Persis seperti Penjelasan Pasal 37 huruf b RKUHP.
Tulisan ini menganggap bahwa teori pertanggungjawaban pengganti adalah bagian dari teori-teori tentang pertanggungjawaban korporasi, sehingga hanya berlaku bagi korporasi. Artinya, teori ini hanya dapat diterapkan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi, dengan bentuk pidana pokok berupa denda.
Menerapkan teori pertanggungjawaban korporasi pada pengurus korporasi jelas merupakan pertanggungjawaban korporasi yang kebablasan. Teori pertanggungjawaban korporasi dikembangkan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi, dan bukan pertanggungjawaban pengurus. Lebih jauh lagi, dengan menerapkan pertanggungjawaban pengganti bagi subjek hukum manusia, berarti hukum pidana kita telah mengizinkan adanya pemenjaraan terhadap seseorang untuk perbuatan pidana yang dilakukan orang lain. Ini jelas sebuah penyimpangan terhadap hukum pidana yang bersifat personal.
Teori tentang Pertanggungjawaban Pengurus
Lalu apakah pengurus korporasi dapat dipidana jika terjadi tindak pidana korporasi? Jawabannya, tentu saja dapat. Tetapi pengurus ini tidak dipidana secara otomatis, dan bukan semata-mata karena kedudukannya sebagai pengurus korporasi. Pengurus hanya dapat dipidana apabila terbukti memiliki kontribusi di dalam tindak pidana.
Secara teoretis, kontribusi pengurus di dalam tindak pidana dapat dirumuskan dalam tiga kelompok. Pertama, pengurus adalah pihak yang melakukan tindak pidana. Kedua, pengurus turut serta dalam tindak pidana yang terjadi, seperti memerintahkan, membujuk, atau membantu tindak pidana. Selama ini, kedua bentuk kontribusi ini telah dirumuskan di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Kontribusi ketiga adalah kegagalan pengurus melakukan upaya pencegahan tindak pidana, padahal ia mengetahui adanya tindak pidana yang telah atau akan dilakukan, dan memiliki kekuasaan untuk melakukan pencegahan. Hal ini tampak di dalam konsep responsible corporate officer (RCO) yang dipraktikkan di Amerika Serikat, sebagaimana tercermin dalam kasus United States v. Iverson [162 F.3d 1015 (9th Cir. 1998)], United States v. Ming Hong [242 F.3d 528 (4th Cir. 2001)], dan United States v. Hansen [262 F.3d 1217 (11th Cir. 2001)].
Pengurus akan terbebas dari pertanggungjawaban jika ia telah melakukan pencegahan atau mampu menunjukkan bahwa terhadap tindak pidana yang dilakukan tidak mungkin dilakukan pencegahan (impossibility defence). Di Belanda, pengurus akan bertanggungjawab jika termasuk ke dalam orang yang memerintahkan tindak pidana atau yang menjadi pemimpin faktual. Untuk dikategorikan sebagai pemimpin faktual, seorang pengurus harus memiliki kekuasaan dan menerima tindak pidana. Kata “menerima” ini oleh Drijfmest-arrest (HR, 21 Oktober 2003) diartikan sedemikian rupa sehingga meliputi: tindak pidana diterima atau biasanya diterima oleh pengurus, atau kegagalan pengurus untuk melakukan upaya yang layak dalam mencegah tindak pidana.
Miskonsepsi tentang pertanggungjawaban korporasi dan pengurusnya telah dikoreksi oleh Peraturan Jaksa Agung No. Per-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan juga dalam Rancangan Peraturan Mahkamah Agung terkait penanganan kasus lingkungan. Di dalam peraturan ini, secara jelas syarat bagi pertanggungjawaban korporasi dibedakan dari pertanggungjawaban pengurus korporasi.
Selain itu, Peraturan Jaksa Agung dan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung di atas juga telah mengakomodir kemungkinan penerapan pertanggungjawaban pengurus atas dasar: pengurus melakukan tindak pidana, pengurus turut serta dalam tindak pidana, atau pengurus gagal melakukan pencegahan tindak pidana. Sayangnya, langkah koreksi ini akan sia-sia apabila ketentuan Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP dipertahankan seperti sekarang.
Penutup
Dari Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP dapat disimpulkan bahwa seorang pengurus dapat dipidana karena tindak pidana orang lain (bawahan) atau tindak pidana yang dilakukan korporasi. Karena pengurus korporasi adalah subjek hukum manusia, maka dimungkinkan sanksi pidana yang dijatuhkan adalah penjara. Dengan kata lain, Pasal 37 huruf b dan Penjelasan 48 RKUHP membuka kemungkinan seseorang dipenjara atas perbuatan pidana orang lain!
Tulisan ini memperlihatkan bahwa logika yang sama dengan Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP telah diterapkan dalam beberapa putusan pengadilan untuk kasus lingkungan. Logika ini berangkat dari miskonsepsi terhadap pertanggungjawaban korporasi. Menyamakan begitu saja antara korporasi dan pengurus korporasi, menunjukkan kegagalan untuk melihat bahwa korporasi dan pengurusnya merupakan dua subjek hukum yang berbeda. Lebih jauh, miskonsepsi di atas juga telah berakibat pada pelanggaran HAM oleh pengadilan: seseorang dipenjara tanpa jelas kontribusinya pada tindak pidana, dan bahkan tanpa pernah diadili.
Selayaknya praktik tersebut dihentikan, dan untuk itu, rumusan Pasal 37 huruf b dan Penjelasan Pasal 48 RKUHP perlu dihapus. Sebaliknya, RKUHP perlu memasukkan syarat bagi pertanggungjawaban pengurus, yaitu pengurus melakukan atau turut serta melakukan tindak pidana, atau pengurus gagal mencegah tindak pidana meskipun ia mengetahui bahwa tindak pidana sedang akan akan terjadi dan pengurus memiliki kekuasaan untuk melakukan pencegahan tersebut.
*)Andri G. Wibisana adalah guru besar hukum lingkungan dan ketua Center for Environmental Law and Climate Justice, FHUI.