Dalam diskursus hak asasi manusia (HAM), negara kerap kali didudukkan sebagai subjek hukum utama, karena negara merupakan entitas utama yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM warga negara. Penisbatan negara sebagai subjek utama penegakkan HAM juga didasari pada kedudukannya sebagai subjek hukum internasional, sehinga memungkinkan negara dapat dituntut dalam forum internasional jika terjadi pelanggaran HAM.
Kendati demikian, pada ranah praktis, terjadi perluasan pemangku kewajiban, seiring adanya persinggungan negara (sebagai subyek hukum utama) dalam memenuhi kewajiban asasi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam sektor ekonomi, sosial dan budaya, yang menempatkan aktor non-negara sebagai salah satu penanggung jawab hak asasi. Salah satu aktor non-negara tersebut adalah korporasi.
Wacana tentang tanggung jawab korporasi dalam konteks pernghormatan terhadap HAM, mulai menyeruak dalam diskursus internasional pasca insiden di Nigeria yang melibatkan perusahaan multinasional yang bergerak di sektor ekstraksi minyak, Royal Dutch Shell. Ken Saro-Wiwa, melalui LSM yang dipimpinnya, melontarkan kritik keras terhadap aktivitas Shell di Delta Sungai Niger yang dinilai telah mencemari lingkungan. Insiden ini menjadi momentum bagi komunitas internasional untuk mendiskusikan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan terhadap potensi terjadinya pelanggaran HAM.
Dalam perkembangannya, kekuatan signifikan dari ekonomi politik perusahaan multinasional juga telah mendorong aspirasi untuk membebankan sebagian tanggung jawab HAM ke perusahaan. Hal ini kemudian dituangkan dalam dokumen yang disebut Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations “Protect, Respect and Remedy” Framework (UNGP) pada 2011 yang dikeluarkan oleh Utusan Khusus PBB untuk Bisnis dan HAM. Latar gagasan lahirnya dokumen UNGP berbasis pada pandangan bahwa perusahaan merupakan organ masyarakat yang memperlihatkan fungsi khusus, sehingga perusahaan dituntut untuk patuh terhadap hukum yang berlaku sebagai bagian dari penghormatan dan perlindungan HAM.
Korporasi dan Produk Ramah Lingkungan maupun Kesehatan
Negara dengan segenap keterbatasan kapasitasnya tentu tidak bisa sendirian menuntaskan berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, apalagi persoalan yang menyangkut kesehatan masyarakat. Jika demikian, maka pelibatan korporasi sebagai bagian dari penyelesaian masalah perlu diberikan ruang.
Dalam konteks etika bisnis misalnya, upaya mengarusutamakan paradigma green industry sedang menjadi perhatian para pelaku bisnis dan perusahaan. Tujuannya tentu untuk menanamkan perilaku pada perusahaan agar tidak hanya berorientasi pada kentungan ekonomi semata, tetapi juga pada tanggung jawab jawab sosial dan lingkungannya. Paradigma green industry kemudian melahirkan konsep green product (produk hijau) yang berorientasi pada upaya menjaga kelestarian lingkungan.
Salah satu tantangan krusial yang masih dihadapi Indonesia dalam konteks pemenuhan hak atas kesehatan saat ini adalah masih tingginya angka prevalensi perokok. Kenyataan ini memang tidak hanya mendera Indonesia, tetapi juga telah menjadi polemik bagi berbagai negara di dunia. Di Indonesia sendiri, keberadaan industri tembakau memiliki multiplier effect dari hulu hingga ke hilir, kendati dianggap menjagi bagian dari tantangan bagi aspek kesehatan.
Bahkan, kontribusinya sebagai salah satu sumber pendapatan negara juga tidak dapat dinafikan. Kenyataan ini membuat Pemerintah Indonesia masih melihat bahwa sektor tembakau merupakan salah satu motor penggerak dari perekonomian dan penyedia lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Anggapan stereotip terhadap industri tembakau sebagai salah satu pemicu problem kesehatan masyarakat pada akhirnya menuntut Iangkah inovatif untuk menghadirkan produk yang lebih tidak berbahaya bagi kesehatan. Salah satu usaha yang tengah diterapkan oleh sektor tembakau adalah pendekatan pengurangan bahaya tembakau (tobacco harm reduction) melalui hadirnya produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko dari rokok.
Pendekatan ini tampaknya memiliki potensi sebagai salah satu pilihan untuk melengkapi berbagai strategi pengendalian tembakau yang sudah dijalankan. Oleh karena itu, selayaknya berbagai langkah lebih lanjut untuk menyajikan fakta-fakta ilmiah tentang penerapan pengurangan bahaya tembakau perlu diapresiasi. Hal tersebut, di samping sebagai bentuk apresiasi terhadap langkah inovasi yang dirahimi oleh sektor industri, juga diharapkan dapat memberi kontribusi di tengah persoalan pelik penurunan angka perokok.
Langkah inovatif yang dilakukan industri untuk merahimi produk-produk yang lebih tidak berbahaya bagi kesehatan tentu dapat dimaknai sebagai tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM. Sebagaimana merujuk pada hak-hak dasar yang disusun dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), tanggung jawab tersebut mensyaratkan perusahaan salah satunya untuk mencegah atau mengurangi dampak langsung terhadap HAM yang terjadi karena aktivitas maupun produk yang diproduksi.
Menanti Dukungan Pemerintah
Hak atas kesehatan menjadi bagian dari prinsip yang diakui oleh Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28H ayat (1) menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Norma konstitusi ini mengamanatkan kepada negara untuk secara aktif memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak atas kesehatan. Peran tersebut tentu dapat diwujudkan salah satunya adalah dengan menyediakan instrumen kebijakan yang dapat memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhannya.
Saat ini, kendati produk tembakau alternatif seperti vape, produk tembakau yang dipanaskan, ataupun kantong nikotin telahmasuk ke pasar Indonesia, hal yang secara normatif belum direspon oleh pemerintah adalah mengenai ketentuan pembatasan usia pengguna produk tersebut. Ketentuan ini penting karena produk tembakau alternatif, meski memiliki profil risiko yang lebih rendah dari rokok, tetapi tidak berarti bebas risiko.
Potensi penerapan pendekatan tobacco harm reduction melalui produk tembakau alternatif akan optimal apabila akses informasi dan penggunaan produk ini dibuka bagi perokok dewasa di Indonesia dan ditutup bagi anak berusia di bawah umur. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 131 ayat (2) dan ayat (3) menyatakan dengan tegas bahwa “Upaya pemeliharaan kesehatan anak dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.. dan upaya pemeliharaan tersebut menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah dan pemerintah daerah.”
Ketiadaan ketentuan tersebut menjadi ambivalensi dalam tujuan perlindungan terhadap hak asasi anak. Karena pada dasarnya, konsepsi perlindungan hak asasi anak adalah guna mewarisi sekaligus potret masa depan bangsa di masa mendatang serta sebagai generasi penerus cita-cita bangsa.
Apabila Pemerintah mengambil sikap untuk menetapkan batasan usia pengguna produk tembakau alternatif, maka Pemerintah juga dengan tegas mengomunikasikan kepada masyarakat bahwa produk ini ditujukan hanya kepada orang dewasa. Lantas jika Pemerintah memberikan dorongan kepada perokok untuk beralih dari rokok kepada produk yang lebih rendah risiko ini, dapat dikatakan bahwa Pemerintah juga melakukan upaya konkret untuk memenuhi hak warga negaranya atas kesehatan.
Adapun untuk semakin mendukung hal tersebut, maka aturan yang nantinya akan ditetapkan untuk produk-produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko ini harus dibuat berbeda dari aturan dan batasan-batasan yang ditetapkan untuk rokok sesuai dengan tingkat risikonya.Dorongan ini dapat dimulai dengan menjamin ketersediaan informasi yang akurat dan faktual bagi masyarakat.
Ketersediaan informasi atas suatu produk secara konstitusional juga menjadi bagian dari aspek perlindungan konsumen, salah satunya adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai produknya. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam norma Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hak atas informasi berupa keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang secara ratio legis berarti perlindungan atas keamanan dan keselamatan terhadap penggunaan produk.