Masih banyak pihak yang mempunyai salah pengertian mengenai arbitrase sebagai suatu badan dan sebagai suatu proses beracara dengan mencampuradukkan arti dan fungsinya. Pencampuradukkan tersebut dilakukan secara tidak sengaja karena adanya kekeliruan berpikir atau justru secara sengaja sehingga menciptakan sebuah asumsi yang salah untuk kepentingan diri.
Dalam banyak permohonan pembatalan, ditemukan bahwa badan arbitrase – BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dalam hal ini – disangkutpautkan sebagai turut termohon atau bahkan termohon. Seakan-akan, BANI, sebagai badan, terlibat atau berkontribusi secara langsung dalam sebuah putusan arbitrase yang diputuskan oleh Majelis Arbitrase yang terdaftar di BANI tetapi ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa. Padahal, posisi BANI terbatas pada pengelolaan institusi dan administrasi, sementara Majelis Arbitrase memiliki otonomi yang seluas-luasnya terhadap sengketa yang dimohonkan untuk diselesaikan. Ada implikasi-implikasi hukum penegasan distingsi ini.
Bukan hanya pencampuradukkan antara badan dan proses arbitrase, masih banyak pihak yang menyamakan badan arbitrase dan segala prosedurnya dengan Pengadilan Negeri. Meskipun di dalam perjanjian para pihak yang bersengketa sudah dituliskan klausul arbitrase, ada pihak-pihak yang tetap mengajukan penyelesaian sengketanya melalui Pengadilan Negeri dan tetap diterima oleh Pengadilan Negeri untuk diselesaikan.
Tidak hanya itu saja, dalam proses berarbitrase, ditemukan adanya pihak-pihak yang membawa nuansa adversarial ke dalam ruang persidangan arbitrase yang orientasinya, padahal, adalah menyelesaikan sengketa. Bentuknya adalah dengan penudingan atau penyalahan satu sama lain tanpa memberikan pengertian kepada Majelis Arbitrase.
Dengan kata lain, orientasinya adalah tidak untuk menyelesaikan sengketa, tetapi untuk mendapatkan klaim yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mendudukkan kembali distingsi antara badan arbitrase dengan kedua hal tersebut agar kekeliruan yang terjadi tidak berkelanjutan.
Membedakan Badan dan Proses Arbitrase
Kekeliruan dalam membedakan antara badan dan proses arbitrase dapat berasal dari beberapa hal. Hal pertama adalah adanya keterbatasan atau kekaburan norma relevan dalam memberikan penjelasan, khususnya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Ada batas yang kabur dalam hubungan antara badan/lembaga dan proses arbitrase. Berdasarkan Pasal 1 angka 8, lembaga arbitrase (selanjutnya disebut “badan”) adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan suatu sengketa. Pemahaman awam atas pasal ini adalah bahwa badan arbitrase adalah entitas yang menyelesaikan sengketa; padahal, subjek hukum yang menyelesaikan sengketa adalah persoon yang terdaftar sebagai arbiter dalam badan arbitrase.
Sebagai contoh dalam BANI, telah ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI Tahun 2022 bahwa BANI bukanlah lembaga pemutus sengketa tetapi merupakan lembaga independen yang mengadministrasikan proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan Majelis Arbitrase.
Salah satu bentuk administrasi tersebut adalah penyediaan daftar arbiter yang dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa mereka; di samping itu, BANI juga menyiapkan prosedur berarbitrase. Dalam konteks tertentu, para pihak dapat memohonkan, kepada Ketua BANI, arbiter yang tidak terdaftar tetapi keahliannya sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa.
Bahkan, terhadap Majelis Arbitrase yang telah dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, Ketua BANI dan jajarannya tidak boleh melakukan intervensi atau mengetahui materi persengketaan. Hubungan antara badan dan arbiter bukan hubungan yang bersifat subordinatif kontraktual. Walaupun pengaturan pembayaran biaya arbiter dilakukan oleh badan, hal tersebut hanya merupakan bagian dari Peraturan dan Prosedur Badan dan tidak berimplikasi pada eksistensi hierarkisme antara keduanya.
Selain dikarenakan keterbatasan penjelasan dalam UU a quo, tidak ada Perma atau SEMA yang juga memberikan pengertian atas distingsi tersebut dalam mekanisme pembatalan putusan arbitrase di pengadilan. Sehingga, pihak yang mengajukan permohonan tidak memiliki arahan mengenai apakah badan arbitrase dapat ditarik menjadi pihak turut termohon atau bahkan termohon.
Dengan adanya kekhawatiran bahwa permohonannya akan ditolak karena kurang pihak, badan arbitrase, yang dalam hal ini hanya sekadar mengurus administrasi, juga tetap ditarik ke dalam. Menurut Penulis, jikalau mekanisme pembatalan tetap ingin dipertahankan, cukup objek yang dipersoalkan adalah putusan arbitrase tanpa harus mengaitkan dengan pihak pembuatnya sebagaimana – sebagai sebuah analogi – permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi.
Distingsi ini diperlukan karena ada prinsip kerahasiaan yang harus dijaga. Segala informasi berkaitan dengan sengketa hanya tersirkulasi di dalam ruang persidangan arbitrase. Berbeda dengan tata beracara yang berlaku di Pengadilan Negeri (Pasal 13 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan secara tertutup untuk umum (Pasal 27 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa).
Hal ini dilakukan untuk menjaga hubungan bisnis dan kepentingan reputasi para pihak yang bersengketa. Ditambah lagi, unsur kerahasiaan ini juga akan lebih membuat para pihak lebih terbuka dalam mengungkapkan permasalahan pokok sengketa dan bukti-bukti serta pengertian atas transaksi bisnis para pihak sehingga Majelis Arbitrase lebih memiliki banyak data untuk menyelesaikan sengketa secara baik.
Tidak hanya untuk kepentingan para pihak yang bersengketa, terjaganya prinsip ini juga berkaitan dengan kredibilitas BANI atau badan arbitrase lainnya dalam menyelesaikan sengketa bisnis. Badan arbitrase pada dasarnya bukan merupakan lembaga negara, melainkan seperti lembaga independen yang keberlangsungannya tergantung pada apakah para pebisnis yang bersengketa memercayakan penyelesaian sengketa mereka melalui badan arbitrase.
Pada dasarnya, suatu persengketaan dapat berpengaruh terhadap reputasi para pebisnis yang bersengketa. Dengan demikian, di samping membutuhkan arbiter-arbiter yang ahli dan kredibel dalam menyelesaikan sengketa bisnis, para pihak yang bersengketa juga harus memastikan bahwa Majelis Arbitrase dan juga badan arbitrase dapat dipercaya dalam merahasiakan segala proses beracara dan isi pembicaraan dalam persidangan berkaitan dengan persengketaan.
Membedakan antara Badan Arbitrase dan Pengadilan Negeri
Selain adanya pencampuradukkan antara badan dan proses beracara dalam arbitrase, masih ada juga yang mendemonstrasikan bahwa badan arbitrase dengan prosesnya sama dengan proses beracara di Pengadilan Negeri. Salah satu bentuk konkretnya adalah tidak diindahkannya klausul arbitrase sebagai dasar kompetensi absolut arbitrase untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan menggunakan prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara (Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), kompetensi absolut berdasarkan klausul arbitrase tidak diindahkan sebagai dasar untuk menolak permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan, sebagaimana dalam beberapa kasus yang kami tidak sampaikan di sini (atas dasar menjaga kerahasiaan). Bahkan, ada juga pihak-pihak yang menuliskan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase secara alternatif dengan Pengadilan Negeri. Kesan yang muncul adalah meskipun forum penyelesaian sengketa yang tertulis dalam perjanjian para pihak adalah arbitrase, penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah sama dengan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri.
Walaupun Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengadilan dilarang menolak perkara, pengadilan juga perlu melihat mengenai kompetensi absolut dalam Pasal 2 UU Arbitrase. Bahkan di dalam Pasal 3 UU Arbitrase, disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang atau harus menolak suatu permohonan penyelesaian sengketa yang di dalamnya telah terdapat klausul arbitrase. Pernyataan ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasi semua pihak, tetapi menunjukkan bahwa masih ada realitas yang mengesankan bahwa arbitrase adalah alternatif penyelesaian sengketa bukan di luar pengadilan.
Di samping itu, ada juga peneliti atau penulis yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri sudah hadir dalam sebelum, saat, dan bahkan sesudah proses berarbitrase. Pernyataan ini didukung dengan merujuk pada beberapa pasal dalam UU Arbitrase dan UNCITRAL Model Law (lihat Tri Ariprabowo, “Pembatalan Putusan Arbitrase oleh Pengadilan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014” Jurnal Konstitusi Vol. 14 No. 4 (2017), hlm. 717). Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Sebab, bilamana para pihak telah bersepakat dengan iktikad baik untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui arbitrase, Pengadilan Negeri sama sekali tidak perlu hadir.
Dalam proses pemilihan arbiter, para pihak yang bersengketa memiliki otonomi untuk memilih arbiter terdaftar mana yang dipercayakan. Kemudian selama proses dengar pendapat dalam persidangan, para pihak pada umumnya ingin segala isi materi persengketaan hanya berada di dalam ruang persidangan arbitrase tanpa diketahui pihak lain siapapun itu. Bahkan, bilamana sedari awal sudah mempercayakan penuh kepada Majelis Arbitrase dan satu sama lain memiliki iktikad baik, pelaksanaan putusan arbitrase dapat dilakukan atas dasar tanggung jawab moral dan tanpa harus mendaftarkannya di Pengadilan Negeri; pendaftaran tersebut hanya diperlukan dalam konteks ada pihak yang tidak sukarela melaksanakan putusan arbitrase.
Selain itu, ada aspek proses yang tidak dapat disamakan antara prosedur abitrase melalui badan arbitrase dan prosedur beracara melalui Pengadilan Negeri. Secara orientasi, arbitrase adalah upaya untuk menyelesaikan sengketa dengan mekanisme penyelesaian sengketa secara tertutup. Hal ini berimplikasi kepada nuansa persidangan kekeluargaan yang justru lebih mengutamakan memberikan pengertian kepada Majelis Arbitrase agar jauh lebih memahami duduk perkara secara komprehensif.
Meskipun demikian, banyak realitas menunjukkan bahwa para pihak membawa nuansa adversarial dengan lebih mengutamakan volume suara dibandingkan kualitas argumentasi dan pengertian kepada Majelis Arbitrase. Seharusnya, ada upaya untuk memastikan bahwa sengketa yang terjadi perlu diperbaiki sehingga para pihak tetap dapat membangun hubungan berbisnis selanjutnya di masa sekarang dan yang akan datang. Distingsi ini, meskipun telah diajarkan sejak di bangku kuliah, masih perlu untuk terus ditegaskan.
*)Anangga W. Roosdiono adalah Ketua BANI Arbitration Centre serta seorang advokat di Jakarta. Muhamad Dzadit Taqwa adalah Dosen Hukum dalam Bidang Studi Dasar-Dasar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.