Pernyataan Presiden Joko Widodo yang mendorong masyarakat untuk mengkritik pemerintah menimbulkan polemik mengenai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ini bermula dari kekhawatiran masyarakat akan jeratan pasal didalam UU ITE yang mungkin terjadi jika masyarakat mengkritik pemerintah.
Kasus Prita Mulyasari, Ahmad Dhani ataupun Baiq Nuril seakan menjadi sebuah ancang-ancang yang membentuk pengertian bahwa UU ITE adalah sebuah peraturan yang berbahaya bagi kebebasan berpendapat.
Isu dari kejadian ini kemudian mengkristal menjadi beberapa opini masyarakat yang mengantagoniskan UU ITE. Bahkan, ada paguyuban yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Paguyuban Korban Undang-Undang ITE.”
Polemik ini menghasilkan perspektif bahwa UU ITE hanya berisikan pasal karet yang berbahaya tanpa melihat kandungan utuh dari UU tersebut. Memang, UU ITE bukanlah sebuah produk legislasi yang sempurna. Ada beberapa pasal yang perlu direvisi ataupun diperjelas. Akan tetapi, tidak semua konten yang terkandung didalam UU ITE merupakan hal merugikan masyarakat.
Jika kita lihat secara menyeluruh sesungguhnya UU ITE tidak hanya memuat pasal-pasal problematic yang menjadi imagenya dimata masyarakat.
Banyak kandungan dari UU ITE yang sesungguhnya memberikan banyak manfaat, akan tetapi jarang diketahui oleh masyarakat, Pengaturan tersebut antara lain adalah pengaturan mengenai: Alat Bukti Elektronik, Tanda Tangan Elektronik, dan Tanggung Jawab Penyedia Sistem Elektronik.
Alat Bukti Elektronik Pasal 5 dan 6 UU ITE mengesahkan informasi elektronik ataupun dokumen elektronik menjadi alat bukti hukum yang sah. Hal ini memberikan perlindungan lebih bagi masyarakat yang sedang berhadapan dengan kasus hukum.
Dengan pasal 5 UU ITE ini, sebuah rekaman chat atau SMS penipuan dapat dijadikan sebuah bukti sah dipersidangan. Yang berarti, ini melindungi masyarakat dari tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan dengan menggunakan system elektronik seperti penipuan dan lainya.
Tidak hanya itu, Pasal 5 UU ITE juga dapat digunakan untuk melindungi diri dari tindakan kriminal yang ada di dunia fisik. Sebagai contoh, perekaman video lewat smartphone mengenai kasus penganiayaan atau pemerasan dapat juga dijadikan alat bukti yang sah didalam proses hukum. Yang berarti UU ITE memberikan semakin banyak instrument elektronik yang dapat digunakan masyarakat untuk melindungi dirinya.
Tanda Tangan Elektronik
Pasal 11 dan 12 UU ITE mengatur tanda tangan elektronik yang menyediakan pengaturan untuk menjaga keaslian dan keamanan suatu dokumen elektronik.
Pada masa pandemi seperti ini banyak kegiatan birokrasi dan usaha yang mulai beralih kepada tanda tangan elektronik karena kebijakan Bekerja-dari-rumah. Ini dikarenakan proses penandatanganan sebuah dokumen naskah dinas akan mengalami kendala jika dokumen tersebut dibuat di rumah masing-masing birokrat atau pelaku usaha.
Dalam hal ini, UU ITE mengatur mengenai tanda tangan elektronik tersertifikasi yang dapat membantu mempermudah keberlangsungan usaha dan birokrasi di masa pandemi.
Tanda tangan elektronik memungkinkan penandatanganan dokumen dapat dilakukan secara elektronik tanpa membutuhkan kurir pengantaran dokumen yang harus ditandatangani secara basah, dan tanpa menghilangkan kekuatan hukumnya.
Tanda tangan elektronik tersertifikasi adalah sebuah alat dari teknologi kriptografi yang dapat mengunci suatu informasi/dokumen elektronik agar keamanan dan ke-autentikanya terjaga. Autentik disini dikatakan oleh Edmon Makarin (2020) sebagai terjaganya Confidentiality, Integrity, Availibility, Auhtorization, Authenticiy and Non-Repudiation dari sebuah informasi/dokumen elektronik.
Secara singkat, tanda tangan elektronik dapat sangat membantu proses usaha ataupun birokrasi masyarakat karena dapat menjaga kerahasiaan dan integritas dari sebuah dokumen secara lebih mobile namun tetap aman. Yang berarti UU ITE turut menjaga keamanan melakukan deal-deal bisnis ataupun birokrasi pemerintah secara lebih baik.
Penyelenggaraan Sistem Elektronik
Pasal 15 dan 16 UU ITE beserta peraturan turunanya yaitu Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik berperan penting melindungi kita di dunia digital. Pada peraturan tersebut, diatur mengenai tanggung jawab penyedia system elektronik seperti penyedia aplikasi, website, atau bahkan payment gateway secara elektronik kepada usernya, yaitu masyarakat.
Legislasi diatas (UU ITE dan PP 71/2019) mewajibkan bagi penyedia system elektronik untuk menyelenggarakan sistemnya secara andal, aman dan bertanggung jawab.
Yang berarti, para penyelenggara aplikasi yang kita gunakan baik itu facebook, Instagram, whatsapp dan lainya diberikan kewajiban oleh UU ITE untuk menyelenggarakan sistemnya secara baik dan aman. Sehingga, kita sebagai pengguna bisa mendapatkan pelayanan dan pertanggunjawaban oleh mereka jika system elektronik mereka menyebabkan kerugian bagi kita.
Tidak hanya itu, PP No. 71/2019 juga mengatur mengenai perlindungan data pribadi yang menjadi sebuah kebutuhan di era big data seperti sekarang.
Undang-undang ITE dan turunanya sesungguhnya telah memberikan batas awal dalam bagaimana para penyedia system elektronik harus bertanggung jawab kepada para penggunanya, baik dari penyediaan system elektronik yang baik maupun perlindungan terhadap data pribadi penggunanya. Yang berarti, UU ITE telah memberikan keuntungan lagi bagi para warganet Indonesia.
Apa yang harus kita pikirkan sebelum “meng-antagonis-kan” UU ITE?
Seperti pribahasa “Tak Kenal, Maka Tak Sayang,” sulit kita untuk menyayangi sesuatu jika tidak mengenalnya terlebih dahulu. Dalam konteks ini, ketidak-kenalan kita terhadap UU ITE membuat kita menjadi melihatnya seperti sesuatu yang tidak baik.
Jika kita kenali lebih dekat, sesungguhnya UU ITE adalah sebuah produk legislasi yang tidak sepenuhnya buruk. Banyak dari kandungan UU ITE yang sesungguhnya memberikan banyak manfaat bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, UU ITE memang bukanlah sesuatu yang sempurna.
Masih ada hal dari UU ITE yang perlu kita perbaiki. Oleh karena itu, mari kita kawal proses revisi UU ITE secara lebih objektif dan menyeluruh. Mari kita kikis prasangka bahwa UU ITE hanyalah berisikan sebuah pasal karet yang bermasalah.
Kemudian, mari kita berikan kritik membangun bagi UU ITE agar para pembuat kebijakan dapat memperbaiki pasal-pasal yang belum sempurna, dan kemudian memperkuat pasal-pasal yang sudah bermanfaat.
Sumber: https://opini.id/sosial/read-16387/sebelum-meng-antagonis-kan-undang-undang-ite
Angga Priancha, Peneliti di Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKHT FHUI)