Kisruh slot Orbit Geostasioner Indonesia yang terancam diambil kembali oleh International Telecommunications Union (ITU) menjadi cerminan masalah yang lebih besar dalam dunia keantariksaan Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia telah berusaha untuk mengklaim slot orbit geostasioner menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia melalui Konsep Kedirgantaraan. Namun, konsep tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia pada Outer Space Treaty yang pada Pasal IV mengatur bahwa tidak ada negara yang dapat mengklaim bagian apapun di Ruang Angkasa.
Orbit geostasioner sendiri merupakan posisi orbit yang strategis, khususnya untuk menempatkan satelit komunikasi dan pertahanan. Pada orbit ini satelit yang ditempatkan akan tetap berada diatas bagian permukaan Bumi tertentu dalam orbitnya.
Suatu negara dapat memperoleh slot orbit geostasioner dengan melakukan pengajuan kepada ITU. Dalam pengajuan ini, negara tersebut harus harus memberikan proposal perencanaan yang mendetil mengenai satelit apa yang akan ditaruh, berapa lama masa operasinya, spesifikasi teknis satelit, serta penggunaan dan operator yang akan diberikan hak penggunaannya. Pengajuan ini diterima oleh ITU dengan prinsip first come, first serve, maksudnya adalah siapa yang mendaftarkan pengajuan terlebih dahulu, maka negara pendaftar akan mendapatkan prioritas alokasi slot orbit.
Setelah memperoleh alokasi tersebut, maka negara yang mengajukan, dan operator yang akan melaksanakan kegiatan memiliki waktu Tujuh Tahun sejak tanggal disahkannya alokasi untuk menempatkan satelit. Jika negara tidak memastikan bahwa slot orbit yang didapatkan digunakan untuk orbit satelit, maka negara tersebut akan kehilangan hak penggunaan dan alokasi orbit geostasioner.
Indonesia, sebagai negara yang telah mendapatkan Alokasi Slot Orbit 123o Bujur Timur sejak Tahun 2000 memberikan slot ini kepada PT ACeS untuk pengoperasian satelit Garuda-I. Namun, karena alasan teknis, pada tahun 2015, satelit ini kemudian mengalami proses deorbit dari orbit geostasioner yang telah dialokasikan untuk Indonesia. Di tahun yang sama, Indonesia memberikan alokasi orbit ini untuk Kementerian Pertahanan yang telah mengajukan permohonan penggunaan orbit sejak Tahun 2013, yang selanjutnya menyewa dan memindahkan Satelit Artemis milik Avanti Communications ke posisi orbit 123o selama Kementerian Pertahanan mempersiapkan satelitnya sendiri sebagai bagian dari Proyek Satkomhan.
Permasalahan muncul Ketika Kementerian Pertahanan tidak dapat menyelesaikan pembayaran sewa Satelit Artemis kepada Avanti Communications. Avanti kemudian memindahkan Satelit Artemis keluar dari Orbit 123o pada 2017, yang membuat ITU memberikan peringatan kepada Indonesia, bahwa Indonesia memiliki waktu hingga 2024 untuk dapat mengisi kembali slot 123o dengan satelit barunya, dan hingga saat ini, Indonesia belum dapat mengisi Kembali Slot Orbit Geostasioner 123o.
Berdasarkan penjabaran diatas, terdapat beberapa masalah hukum keantariksaan dan telekomunikasi yang dapat dianalisa. Pertama, pengajuan alokasi slot orbit geostasioner yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan belum dilakukan dengan perencanaan yang jelas. Perencanaan yang kurang jelas ini merupakan bukti bahwa pengaturan mengenai permohonan pengajuan alokasi slot orbit di Indonesia masih belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang sesuai.
Pasal 32 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum dan Frekuensi Radio dan Orbit Satelit mensyaratkan bahwa permohonan pengajuan alokasi orbit sekurang-kurangnya memuat parameter teknis, seperti rencana lokasi satelit pada orbit, daerah cakupan dan frekuensi radio. Kemudian, pada Pasal 26 ayat (3) Peraturan Menteri Kominfo No. 21 Tahun 2014, persyaratan tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan mencakup rencana penggunaan, rencana penggunaan satelit, rencana bisnis, dan rencana pembiayaan pengadaan satelit.
Namun, dokumen-dokumen persyaratan ini belum dilengkapi dengan pembuktian keuangan badan usaha atau lembaga negara yang stabil dan lancar (financial solvency). Peraturan yang ada juga belum dilengkapi dengan sistem pengawasan dan audit keuangan yang cukup untuk memastikan bahwa pemohon merupakan badan usaha atau lembaga negara yang stabil secara keuangan untuk dapat meluncurkan dan menempatkan satelitnya pada orbit tersebut.
Dari sisi pemerintah, seharusnya PP No. 53 dan peraturan turunannya ini memastikan bahwa slot orbit geostasioner tetap terisi, dengan mengamanatkan suatu mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah untuk selalu menempatkan satelit pada slot-slot tersebut, agar “Jam Tujuh Tahun” ITU untuk slot orbit geostasioner Indonesia tidak berdetak. Hal lain yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan slot ini adalah dengan cara memiliki satelit negara yang siap luncur dalam waktu kurang dari Dua Tahun sejak kosongnya salah satu slot orbit geostasioner Indonesia.
Permasalahan lain yang dapat diangkat dari jabaran kasus tersebut adalah, belum jelasnya pemetaan Kebijakan Keantariksaan Nasional Indonesia (National Space Policy), khususnya dalam hal pemetaan dan penjaminan keterisian slot orbit geostasioner Indonesia. Pasal 9 Undang – Undang Keantariksaan No. 21 Tahun 2013 mengamanatkan bahwa Lembaga terkait (dalam hal ini LAPAN), setiap tahun membentuk suatu kajian untuk menyusun Kebijakan Keantariksaan Nasional. Hal ini sangat diperlukan untuk memetakan bagaimana alokasi slot orbit geostasioner Indonesia, orbit yang strategis, tetap terisi, baik untuk digunakan oleh pemerintah, maupun pihak swasta.
Suatu Kebijakan Keantariksaan Nasional tentunya harus memiliki beberapa materi muatan penting yang memberikan fokus pengembangan teknologi dan regulasi keantariksaan Indonesia. Selain dari pengembangan sains, keselamatan dan keamanan, atau kegiatan komersil keantariksaan, hal yang paling penting dirumuskan dalam kebijakan ini adalah perihal pertahanan dan keamanan. Pertahanan dan keamanan sangat berkaitan dengan terancam hilangnya slot orbit geostasioner Indonesia, karena slot orbit yang terancam hilang ini telah diperuntukkan untuk Satelit Komunikasi Pertahanan, seharusnya merupakan materi yang fudamental dalam penyusunan Kebijakan Keantariksaan Nasional.
Terakhir, absennya suatu Kebijakan Keantariksaan Nasional dapat disebabkan karena ketidakhadiran suatu dewan penasihat yang seharusnya merumuskan arah kebijakan-kebijakan tersebut. Dewan ini, seharusnya memetakan postur teknologi dan regulasi keantariksaan, serta menentukan arah dan fokus kegiatan keantariksaan nasional yang dituangkan dalam suatu Buku Putih Kebijakan Keantariksaan Nasional. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pembentukan Kembali Dewan Penerbangan dan Keantariksaan Nasional, yang sebelumnya telah di non-aktifkan sejak 2014.
Penulis adalah Dosen Hukum Internasional Publik di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang merupakan lulusan Advanced Master in Air and Space Law (LL.M) Universiteit Leiden. Penulis juga merupakan seorang peneliti senior bidang hukum udara dan angkasa pada Center for International Law Studies Universitas Indonesia.
Sumber: Opini kompas 16 Maret 2021