Kejadian kapal penjaga pantai Tiongkok yang membenturkan diri pada kapal berbendera Tiongkok yang sedang ditarik oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan–karena diduga melakukan penangkapan ikan yang tidak sah (illegal fishing) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada Sabtu, 19 Maret lalu–tidak bisa dianggap suatu peristiwa ringan.
Di samping tindakan penjaga pantai Tiongkok yang tidak menghormati penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas Indonesia di wilayah Indonesia, tindakan penjaga pantai Tiongkok tersebut juga mengindikasikan penegasan Tiongkok atas klaim Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line) terhadap Indonesia.
Klaim Tiongkok
Pemerintah Tiongkok telah lama mengklaim Sembilan Garis Putus yang berada di tengah laut dan menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional tidak memiliki dasar. Sembilan Garis Putus ini pun sebenarnya tidak jelas koordinatnya, bahkan Pemerintah Tiongkok kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus.
Sembilan Garis Putus ini bertumpang tindih dengan ZEEI. Ini pun yang tersurat dalam pernyataan resmi Pemerintah Tiongkok menanggapi insiden Natuna. Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa nelayan Tiongkok tidak seharusnya ditangkap oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan karena mereka melakukan penangkapan ikan di zona penangkapan ikan tradisional (Traditional Fishing Ground) Tiongkok.
Padahal, konsep Traditional Fishing Ground tidak dikenal dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) di mana Tiongkok dan Indonesia adalah negara anggota. Dalam konvensi yang dikenal adalah konsep Traditional Fishing Rights (bukan Grounds) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Menurut ketentuan Pasal 51 keberadaan Traditional Fishing Rights harus didasarkan pada perjanjian bilateral. Hingga saat ini Indonesia hanya memiliki perjanjian bilateral terkait Traditional Fishing Rights dengan Malaysia. Lalu apa yang menjadi dasar bagi Traditional Fishing Grounds? Dasarnya tidak lain adalah klaim Sembilan Garis Putus.
Pemerintah Indonesia sejak lama, saat Ali Alatas menjabat Menteri Luar Negeri, mempertanyakan kepada Pemerintah Tiongkok apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus. Namun, hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh Pemerintah Tiongkok. Bahkan Presiden Joko Widodo pada saat berada di Jepang hendak berkunjung ke Tiongkok (22/3/2015) menyatakan bahwa Tiongkok tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun atas Sembilan Garis Putus.
Bila masalah di Natuna muncul, Pemerintah Tiongkok selalu menegaskan bahwa Tiongkok tidak memiliki sengketa dengan Indonesia berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Memang pernyataan Pemrintah Tiongkok tidak salah. Indonesia dan Tiongkok tidak mempunyai sengketa kedaulatan (sovereignty). Sembilan Garis Putus tidak menjorok hingga laut teritorial Indonesia. Namun, bila berbicara di wilayah hak berdaulat, yaitu sovereign rights, bukan sovereignty, baik di ZEEI maupun landas kontinen, maka Sembilan Garis Putus bertumpang tindih. Karena bertumpang tindih, Indonesia memiliki sengketa wilayah laut dengan Tiongkok.
Dalam hukum laut internasional dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights. Sovereigntymerujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea). Sementarasovereign rights bukanlah kedaulatan. Sovereign rights memberikan negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (zona ekonomi eksklusif) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen).
Menghindar
Menjadi pertanyaan mengapa Tiongkok terus menghindar dan tidak mau secara tegas menyatakan bajwa mereka memiliki sengketa wilayah laut dengan Indonesia? Tentu banyak dugaan apa yang menjadi alasan. Salah satunya,Tiongkok tidak ingin menambah musuh dalam konflik Laut Tiongkok Selatan. Terlebih lagi posisi Indonesia sebagai mediator yang jujur yang banyak menginisiasi dialog antara Tiongkok dengan negara-negara pengklaim di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Alasan lain, bila Tiongkok mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus, ini berarti hampir seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan akan diklaim oleh Tiongkok.
Indonesia tentu tidak boleh bersikap naïf atas Sembilan Garis Putus. Indonesia tidak boleh menyimpan bahkan mengabaikan konsekuensi dari Sembilan Garis Putus Tiongkok. Indonesia harus bersikap tegas. Indonesia harus tidak mengakui konsep Traditional Fishing Grounds Tiongkok yang berarti tidak mengakui Sembilan Garis Putus.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah tepat melakukan protes diplomatik atas insiden di Natuna. Protes tidak sekadar ditujukan karena tindakan dari penjaga pantai Tiongkok yang tidak mendukung Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan ikan tanpa izin di ZEEI, tetapi juga dalam rangka protes atas hendak ditegaskannya Sembilan Garis Putus oleh Pemerintah Tiongkok yang disamarkan sebagai Traditional Fishing Grounds.
Bila Pemerintah Tiongkok tidak mengindahkan protes Pemerintah Indonesia dan terus mengulang tindakannya, Indonesia dapat melakukan evaluasi atas keberadaannya sebagai mediator yang jujur di konflik Laut Tiongkok Selatan. Indonesia harus berani menyatakan diri sebagai negara yang bersengketa dengan Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei.
Bila perlu pemerintahan Jokowi melakukan evaluasi kerja sama ekonomi, khususnya pembangunan infrastruktur, antara Tiongkok dan Indonesia. Kedekatan secara ekonomi dengan Tiongkok perlu segera diakhiri. Bagi Indonesia masalah ini tidak seharusnya hanya masalah Kementerian Kelautan dan Perikanan, tetapi juga masalah bagi Kementerian Pertahanan dan TNI, khususnya TNI Angkatan Laut.
Jangan sampai Indonesia dimanfaatkan oleh Tiongkok sebagai mediator yang jujur dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, tetapi di saat yang bersamaan kepentingan Indonesia di Laut Natuna dirugikan. Negara ini bukanlah negeri yang terdiri dari orang-orang bodoh yang mudah dimanfaatkan dan dirugikan kepentingannya oleh negara lain.
Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia
Dari Kompas Cetak Rabu, 30 Maret 2016