"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

76 Tahun Deklarasi Universal HAM

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > 76 Tahun Deklarasi Universal HAM

Statuta Roma merupakan salah satu instrumen HAM internasional yang penting di samping UDHR.

Hari ini, 76 tahun silam, 10 Desember 1948, Universal Declaration of Human Rights atau UDHR (Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia) disahkan dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di Paris, Perancis.

Dalam pemungutan suara, ada 48 negara yang mendukung, 8 negara abstain; tetapi tidak ada satu negara pun yang menolaknya. Sejak saat itu, setiap 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di seluruh dunia.

Dalam perspektif historis, proses penyusunan dan pengesahan UDHR ini erat kaitannya dengan pendirian PBB sebagai suatu organisasi antarpemerintah (intergovernmental organization) yang baru, menggantikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

PBB menggantikan LBB

LBB merupakan organisasi antarpemerintah pertama yang didirikan pada 10 Januari 1920 melalui Paris Peace Conference setelah berakhirnya Perang Dunia I (1914-1918).

Meski demikian, pada masa kepemerintahan LBB ini kemudian terjadi Perang Dunia II (1939-1945) yang justru berlangsung lebih lama dan dahsyat serta memakan korban yang jumlahnya lebih dari tiga kali lipat jumlah korban yang meninggal pada Perang Dunia I.

Kondisi inilah yang antara lain kemudian memicu Presiden ke-32 Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt (FDR), mengusulkan dibentuknya suatu lembaga internasional pengganti LBB, yang kemudian hari dinamakan PBB.

Sebagai satu-satunya presiden di AS yang memegang masa jabatan hingga empat periode, Presiden FDR juga telah merencanakan untuk menghadiri Konferensi San Francisco yang diselenggarakan pada 26 Juni 1945.

Konferensi yang juga diinisiasi olehnya ini diselenggarakan untuk membahas rencana pembentukan PBB dan mengesahkan Piagam PBB (United Nations Charter). Namun, pada 12 April 1945, Presiden FDR meninggal karena sakit.

Dengan demikian, ia juga tak sampai menuntaskan masa jabatan periode keempatnya atau menghadiri Konferensi San Francisco. Namun, walaupun Presiden FDR telah meninggal, para wakil dari berbagai negara tetap menyelenggarakan Konferensi San Francisco pada 26 Juni 1945 untuk mewujudkan cita-cita Presiden FDR.

Konferensi ini berhasil mengesahkan Piagam PBB, yang menjadi dasar pembentukan PBB untuk menggantikan LBB. Dalam Piagam PBB, kata HAM (human rights) disebut sampai tujuh kali. Ini menunjukkan bahwa pendirian PBB erat kaitannya dengan upaya-upaya internasional untuk menegakkan HAM di seluruh dunia.

Sebagaimana diketahui, pada masa Perang Dunia II terjadi berbagai pelanggaran HAM berat, antara lain peristiwa Holocaust, yakni pembunuhan massal kelompok Yahudi oleh Adolf Hitler, Nazi, serta sekutu dan para kaki tangannya.

Sejak tahun 1948, PBB telah menyadari perlunya mendirikan suatu MPI untuk menuntut kejahatan seperti pemusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok atau genosida.

Peristiwa ini setiap 27 Januari kemudian diperingati sebagai Hari Holocaust Internasional. Di kota Berlin, Jerman, kemudian juga dibangun Monumen Holocaust Memorial.

Berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Perang Dunia II itulah yang kemudian memperkuat tekad para perumus UDHR bahwa di masa depan, berbagai pelanggaran HAM berat itu tidak boleh terjadi lagi di muka bumi.

Pembentukan UDHR

Setelah PBB terbentuk tahun 1945, kemudian dibentuklah suatu komisi fungsional yang diberi nama The United Nations Commission on Human Rights (UNCHR) pada 1946.

Komisi ini kemudian eksis sekitar 60 tahun hingga diganti menjadi The United Nations Human Rights Council pada 1986. Ketika pertama kali terbentuk, komisi ini diketuai oleh Ny Eleanor Roosevelt, janda dari Presiden FDR. Adapun anggota komisi itu antara lain para guru besar, diplomat, dan kalangan lainnya.

Rapat-rapat UNCHR kemudian diselenggarakan di Lake Success, New York, AS, karena kantor pusat PBB yang kita kenal sekarang ini baru mulai dibangun tahun 1947 dan sebelumnya merupakan rumah pemotongan hewan.

Salah satu hal krusial yang diperdebatkan pada tahap awal pembahasan UDHR adalah rancangan Pasal 1 yang menyatakan ”All men are created equal”, yang diambil dari rumusan Declaration of Independence AS.

Hansa Jivraj Mehta (lebih dikenal sebagai Hansa Mehta), seorang reformis dan aktivis sosial dari India, tak sepakat dengan penggunaan frasa all men karena khawatir jika di kemudian hari frasa all men itu dianggap tidak mencakup seluruh umat manusia—laki-laki dan perempuan—melainkan hanya mencakup laki-laki saja.

Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pidatonya saat peringatan 70 tahun UDHR mengakui peranan Hansa Mehta dalam proses perumusan UDHR, dengan menyatakan ”without her, we would literally be speaking of rights of man rather than human rights”.

Sementara, kata created dikritik oleh delegasi Uni Soviet karena sebagai suatu negara komunis besar pada saat itu, mereka tidak mengakui adanya Tuhan. Berdasarkan perdebatan terkait dua hal tersebut, rumusan yang kemudian disepakati adalah ”All human beings are born free and equal”.

Namun, pelanggaran-pelanggaran HAM, baik yang bersifat berat maupun biasa, ternyata masih tetap terjadi.

Hal lain yang menjadi perdebatan mendalam adalah tentang pencantuman hak-hak sipil dan politik (sipol) dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (eksosbud).

Pencantuman hak-hak sipol tidak menimbulkan kontroversi karena hal itu tidak menimbulkan biaya bagi negara. Namun, pencantuman hak eksosbud menjadi bahan perdebatan karena menimbulkan konsekuensi biaya bagi negara.

Pada akhirnya, saat disahkan, UDHR terdiri dari 30 pasal yang meliputi sebagai berikut: (1) hak-hak sipil dan politik (Pasal 2-21) yang tergolong sebagai HAM Generasi Pertama; (2) hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (Pasal 22-27) yang merupakan HAM Generasi Kedua; dan (3) hak-hak solidaritas (Pasal 28) yang tergolong sebagai HAM Generasi Ketiga.

Pembentukan perjanjian internasional

Pemberlakuan Piagam PBB dan UDHR itu kemudian diikuti dengan pembentukan berbagai bentuk perjanjian internasional, baik dalam level PBB, regional, maupun domestik.

Dalam level PBB, misalnya, terdapat beberapa instrumen seperti: (1) Convention Relating to the Status of Refugees (1954); (2) International Covenant on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD) (1965); (3) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) (1966); (4) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) (1966); (5) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (1966).

Selain itu; (6) Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) (1979); (7) Convention Against Torture and Other Forms of Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984); (8) Convention on the Rights of the Child (CRC) (1990); serta (9) Vienna Declaration and Programme of Action (1993).

Dalam level regional, misalnya, terdapat beberapa instrumen sebagai berikut: (1) European Convention on Human Rights (ECHR) (1952); (2) American Convention on Human Rights (1969); (3) African [Banjul] Charter on Human and People’s Rights (1981); (4) Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990); (5) Bangkok Declaration (1993); dan (6) Asian Human Rights Charter (1997).

Selanjutnya, dalam level domestik, terdapat beberapa instrumen, misalnya: (1) Declaration of the Rights of Man and Citizen di Perancis (1789); (2) Bill of Rights di AS (1791); (3) Charter of Rights and Fundamental Freedoms di Kanada (1982); (4) Bill of Rights di Afrika Selatan (1996); (5) Human Rights Act di Inggris (1998) dan (6) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM di Indonesia (1999).

HAM dalam 76 tahun UDHR

Hari ini, 76 tahun setelah berlakunya UDHR, berbagai perkembangan signifikan telah terjadi dalam penerapan berbagai jenis dan generasi HAM, baik hak-hak sipol, eksosbud, maupun solidaritas di berbagai belahan dunia. Namun, tak dapat dimungkiri bahwa masyarakat internasional masih berjuang keras untuk bisa mendapatkan hak-hak asasinya yang bersifat fundamental.

Pelanggaran HAM juga banyak terjadi dalam kasus-kasus perang antarnegara selama ini.

Dalam kasus perang antara Israel dan Palestina, misalnya, kita masih harus menunggu lebih lanjut untuk melihat apakah Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (MPI) (Rome Statute of the International Criminal Court) akan bisa efektif  berbagai bentuk perjanjian internasional lain.

Statuta Roma ini merupakan salah satu instrumen HAM internasional yang penting di samping UDHR. Sejak tahun 1948, PBB telah menyadari perlunya mendirikan suatu MPI untuk menuntut kejahatan seperti pemusnahan secara teratur terhadap suatu kelompok atau genosida (genocide).

Dalam Resolusi 260 tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB menyatakan sebagai berikut: “Recognizing that all periods of history genocide has inflicted great losses on humanity, and being convinced that, in order to liberate mankind from such an odious scourge, international cooperation is required”.

Di Indonesia, pengesahan UDHR pada 76 tahun lalu membawa efek positif pada era Reformasi (2002-008) karena pada saat itu tidak kurang dari 27 UU baru dibentuk dengan memperhatikan nilai-nilai HAM.

Jika ditarik hingga ke masa hari ini, sudah lumayan banyak peraturan perundang-undangan yang dibentuk dengan berdasarkan HAM, termasuk masuknya pengaturan pasal-pasal tentang HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945.

Pada era tersebut, berbagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk juga sudah meratifikasi berbagai perjanjian internasional yang penting,

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari sisi materi dan kelembagaan hukum (legal substances and structures), baik di tingkat nasional maupun internasional, dalam rentang waktu 76 tahun setelah berlakunya UDHR, terjadi perkembangan lumayan pesat.

Namun, pelanggaran-pelanggaran HAM, baik yang bersifat berat maupun biasa, ternyata masih tetap terjadi. Karena itu, untuk mewujudkan eksistensi suatu dunia yang bebas dari pelanggaran HAM diperlukan adanya suatu peningkatan kesadaran internasional yang terus-menerus terhadap hal tersebut, sebagaimana yang dicita-citakan oleh para perumus UDHR dahulu.

Satya ArinantoGuru Besar dan Ketua Konsentrasi HAM dan Kepemerintahan yang Baik Program Pascasarjana FHUI, Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Hukum (2009-2024)

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/09/76-tahun-deklarasi-universal-ham

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI