Pendidikan hukum harus lebih giat membantu mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara hukum sesuai amanat UUD Tahun 1945. Semoga 100 tahun berlalu, negara hukum menjadi suatu makna dan bukan sekadar suatu kata.
Pada 28 Oktober 2024, Indonesia genap merayakan 100 tahun pendidikan hukum. Pendidikan hukum Indonesia telah berjasa melahirkan dasar negara (grundnorm) melalui tokoh-tokoh perintis kemerdekan termasuk Sumpah Pemuda dan perumus naskah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Tokoh-tokoh tersebut berasal dari berbagai latar belakang, baik bahasa ibu, asal daerah, suku, maupun keyakinan. Kemajemukan tersebut memungkinkan beberapa orang yang sekalipun berasal dari satu golongan memiliki pandangan hidup dan perspektif dunia yang berbeda. UUD 1945 merupakan manifestasi bahwa kita memiliki jauh lebih banyak kesamaan dibandingkan apa yang memisahkan kita. Ini makna sesungguhnya dari semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika.’ Hal ini menjelaskan mengapa UUD 1945 begitu sakral dan di jantung isu tersebut adalah pendidikan hukum.
Pendidikan hukum Indonesia dimulai ketika Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Rechtshoogeschool (RHS)di Jakarta, di tempat bersejarah yang sekarang menjadi Gedung Kementerian Pertahanan di Jalan Medan Merdeka Barat. Seperti di Belanda, RHS memberikan gelar hukum minimal setingkat Strata-2 yaitu Meester in de rechten. Pendirian RHS dilatarbelakangi pada mulanya kebutuhan tenaga ahli hukum di pengadilan. Kemudian diikuti dengan pendidikan hukum setingkat sekolah menengah atas. Saat ini, RHS dikenal sebagai Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI).
Banyak lulusan FH UI berkiprah dalam perumusan naskah UUD 1945. Sayangnya, buku sejarah—setidaknya di bangku sekolah—seringkali melupakan peranan tokoh-tokoh hukum pendiri bangsa. Salah satunya adalah Tan Eng Hoa, seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang mengusulkan penambahan Pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Kebebasan ini menjadi titik mula ide baru dan memungkinkan diskusi mengenai isu kebangsaan, khususnya di situasi genting zaman penjajahan dan represi. Salah satunya cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat), seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Konsep negara hukum tidak lahir di Indonesia. Konsep tersebut berasal dari Jerman. Di Amerika Serikat, konsep serupa dikenal luas sebagai rule of law.
Takjubnya, di zaman sebelum globalisasi, para pendiri bangsa mampu dan mau terbuka untuk belajar norma dasar berbagai negara termasuk Jerman. Mereka ingin menemukan dan mengadopsi apa yang paling pas untuk Tanah Air yang begitu majemuk. Sejatinya, suatu perdebatan ide bukanlah tentang apa yang asing atau asli. Pada dasarnya, terdapat benang merah lintas peradaban dan budaya. Lagi-lagi, semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ menjadi hidup. Bahkan, serasi dalam konteks internasional. Penulis percaya bahwa jauh lebih banyak kesamaan diantara kita dibandingkan apa yang memisahkan.
Yang menjadi titik perbedaan adalah cita-cita yang ingin dicapai. Untuk Indonesia, cita-cita tersebut adalah suatu negara yang memberikan kesempatan untuk semua, dimana hukum menjadi panglima. Cita-cita tersebut didorong oleh pengalaman manis anak-anak bangsa yang merasakan inklusivitas, kesempatan sama, dan buah manis dalam memperjuangkan kemerdekaan dan merumuskan naskah konstitusi.
Dalam perjalanannya, pendidikan hukum Tanah Air merefleksikan kebhinekaan Indonesia, bukan hanya demografi lulusan yang kemudian menjadi tokoh bangsa, namun juga sistem hukum dan bahasa. Sayangnya, reformasi hukum kerap tertinggal, baik dalam memenuhi kebutuhan masyarakat maupun perkembangan zaman. Hal tersebut termasuk dalam sistem pendidikan hukum.
Sistem hukum yang pluralistik
Pertama, sistem hukum Indonesia bersifat pluralistik. Artinya, terdapat kombinasi beberapa sistem hukum. Setidaknya dalam hukum perdata dan khususnya hukum dagang, Indonesia menganut tradisi hukum Eropa Kontinental akibat peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dan pilihan untuk meneruskan sistem tersebut untuk mengisi kekosongan hukum pasca kemerdekaan.
Sejak tahun 1990-an, pengaruh sistem hukum Amerika Serikat terasa dalam hukum dagang dan juga hukum tata negara. Dalam artikel saya, ‘My Law and Language Experience of the US and Indonesia’(2023), yang dipublikasi dalam International Journal of Law, Language & Discourse, Penulis menjelaskan banyak yang tidak sadar atau tahu bahwa tradisi hukum Amerika Serikat hidup dan berkembang di Indonesia. Hal ini terlihat mulai dari tata kelola perusahaan sampai dengan peran Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas Undang-Undang.
Bertolak belakang dengan pendapat pada umumnya, oleh karena itu, Penulis berkesimpulan bahwa Indonesia menganut campuran sistem hukum sipil dan common law Amerika Serikat. Berarti, negara kepulauan dengan sistem campuran demikian bukan hanya Filipina, tetapi juga Indonesia.
Sudah saatnya, materi ajar pendidikan hukum mengakui peran penting hukum Amerika Serikat dalam sejarah dan perkembangan hukum Indonesia. Alasannya? Supaya akademisi, praktisi, mahasiswa, dan pemerintah mampu menelusuri asas-asas yang melatarbelakangi berbagai peraturan perundang-undangan di Tanah Air untuk memahami rasionalitasnya dan memajukan serta memperkaya hukum Indonesia.
Sumber bahasa yang beragam
Kedua, materi ajar pendidikan hukum—setidaknya di FH UI—kaya akan setidaknya tiga bahasa: bahasa Melayu, Indonesia, dan Inggris. Para penulis terdahulu fasih berbahasa Belanda dan karena generasi selanjutnya pada umumnya tidak menggunakan bahasa tersebut, terjemahan ke dalam bahasa Melayu umum. Bagi penutur bahasa Melayu atau Indonesia, terjemahan tersebut mungkin sulit dipahami dari segi gramatikal maupun ejaan. Kemudian, terdapat bahasa Melayu sebelum bahasa Indonesia lahir.
Pada era awal penggunaan bahasa Indonesia di Tanah Air, buku-buku ajaran menggunakan kombinasi bahasa Melayu dan Indonesia. Seringkali, keterbatasan kosa kata membuat sekian istilah bahasa Belanda tetap digunakan dalam tanda kurung. Saat ini, materi ajar dalam bahasa Indonesia sudah banyak dan bahkan bahasa Inggris seiringnya globalisasi. Namun, untuk konsep-konsep hukum Indonesia, tidak jarang terdapat beberapa terjemahan untuk satu istilah bahasa Belanda atau Inggris.
Di sini, standardisasi menjadi penting. Persamaan kata tentu boleh ada, tetapi jangan sampai menimbulkan kerancuan. Hal ini penting untuk asas kepastian hukum, terutama ketika masuk dalam ranah sengketa. Contohnya, ratusan tahun sudah berlalu, namun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang resmi masih dalam bahasa Belanda. Versi bahasa Indonesia hanya merupakan terjemahan dan bukan Undang-Undang. Namun tampaknya, terjemahan tersebut dan istilah terjemahan yang sering digunakan dalam praktik telah menjadi bagian dari hukum yaitu hukum kebiasaan. Sekalipun itu, akademisi dan pemerintah seyogianya beraspirasi dan berusaha menjadikan hukum Indonesia seragam dan konsisten dari segi bahasa: bahasa Indonesia.
Jika sistem hukum dan sumber bahasa yang majemuk merupakan suatu anugerah dan kesempatan untuk berbenah dan menciptakan sistem hukum yang lebih kaya dan maju, hal tersebut tampaknya tidak tercerminkan dalam reformasi hukum Tanah Air.
Reformasi hukum yang tampak terabaikan
Berbagai pemangku kepentingan termasuk pemerintah pusat dan pengadilan telah mengambil langkah memperbaiki hukum. Contohnya, bersama dengan parlemen, pemerintah pusat memberlakukan Undang-Undang omnibus yang tujuannya ingin meluruskan tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan mempermudah kesempatan berusaha. Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan hingga surat edaran yang tujuannya mengatur pengadilan-pengadilan untuk mengadili kasus dengan putusan yang konsisten.
Tentunya, inisiatif tersebut perlu dicatat dan diapresiasi. Namun faktanya, kemudahan berusaha tidak naik drastis akibat dari inisiatif seperti demikian. Tampaknya, reformasi hukum demikian tidak cukup.
Alasannya? Solusi tersebut tampaknya tidak mendasari akar persoalan yang dihadapi pelaku usaha, terutama investor asing. Sebenarnya ekosistem investasi semacam apakah yang dicari oleh pelaku usaha? Dalam artikel Penulis, ‘Sovereign Wealth Fund should be Politically Independent’ (2024), yang dipublikasi di The Jakarta Post, Penulis menjelaskan bahwa pelaku usaha mencari kepastian hukum. Kepastian hukum menjadi kunci kemudahan berusaha dan masuknya investasi asing.
Konsistensi implementasi dan penegakan hukum menciptakan kepastian hukum. Artinya, sekalipun pemerintahan silih berganti dan berbeda pengadilan di penjuru Tanah Air mengadili kasus yang sama, peraturan dan putusan mesti mampu diprediksi dan tidak keluar di luar ekspektasi. Sayangnya, multitafsir dan ketidakpastian implementasi dan penegakan hukum acapkali terjadi. Hal ini membuat banyak pelaku usaha, khususnya investor asing, menghindari pasar Indonesia secara keseluruhan sekalipun potensi negeri ini yang berkelimpahan dan banyak belum tergarap.
Sejatinya, rakyat yang akan merasakan manfaat dari kepastian hukum. Kemudahan berusaha dan berinvestasi bukan hanya menciptakan peluang bagi inovasi dan lapangan kerja untuk penghidupan, tetapi juga harapan untuk kehidupan yang lebih baik untuk sendiri, sesama, dan generasi mendatang. Republik yang memiliki potensi begitu besar dan demografi mayoritas anak muda berhak untuk itu.
Di sini, pendidikan hukum menjadi sangat penting dalam mengajarkan, melatih, dan membentuk generasi yang mampu berkontribusi dalam kepastian hukum baik di jajaran akademisi, praktisi, kehakiman, maupun pemerintahan. Seabad lamanya, situasi hukum negeri menjadi refleksi akan tantangan dan peluang pendidikan hukum untuk berkontribusi di era modern.
Pendidikan hukum harus lebih giat membantu mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara hukum sesuai amanat UUD 1945. Kepastian hukum adalah mutlak dalam berbangsa dan bernegara. Seperti kata Charles Himawan, lulusan Indonesia pertama yang meraih gelar Doctor of Juridical Science (Doktor Ilmu Hukum) dari Harvard, ‘Hukum adalah panglima.’ Hal lainnya mengalir dari situ. Semoga 100 tahun berlalu, negara hukum menjadi suatu makna dan bukan sekadar suatu kata.
*) Luther Lie, adalah pengacara kualifikasi New York. Luther saat ini berpraktik di Singapura dan sebelumnya di Amerika Serikat. Ia memperoleh gelar hukum dari Harvard dan Universitas Indonesia.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/100-tahun-pendidikan-hukum-indonesia-lt67192f5e0f389/