Membicarakan UU Perkawinan tampak tidak dapat lepas dari tema hukum Islam. Dalam sejarah pembuatan UU Perkawinan ini pada 1974 silam terjadi tarik-menarik kepentingan dan nilai sosial yang dikompromikan di parlemen. Hasilnya, banyak pihak merasa UU Perkawinan bernafaskan hukum Islam.
Mulai dari pengaturan poligami, status kepala keluarga dalam rumah tangga, hingga klausula pamungkas yang menyatakan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan kedua mempelai dinilai banyak pihak diwarnai corak agama terutama hukum Islam.
Berikut adalah petikan wawancara hukumonline bersama Wirdyaningsih mengenai gagasan revisi UU Perkawinan.
Menurut anda, apakah revisi UU Perkawinan memang mendesak dilakukan saat ini?
Kalau menurut saya, sebelum kita maju ke depan untuk mengatakan apakah UU ini perlu direvisi atau tidak, baiknya kita lihat ke belakang. Itu adalah bagian dari kesepakatan. Dulu waktu awal kuliah tahun 1988, dosen saya Pak Sayuti Thalib mengatakan kesepakatan lahirnya UU ini memang tidak mudah. Tetapi kemudian menjadi UU yang khas dan disepakati, di mana UU itu mengatur ranah privat.
Orang menikah diatur dalam UU, diatur di wilayah Indonesia yang notabene agamanya banyak. Suku, agama, budaya yang berbeda-beda. Nah tentu nggak mudah membuat UU itu kan. Akhirnya satu kata kunci di dalam UU itu kemudian disepakati mengenai syarat sahnya perkawinan. Di pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan itu sah bila menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Itu kata kunci yang tepat sekali.
Kalau kita baca pasal per pasal, misalnya poligami, orang bisa saja bicara dari sudut pandang mana pun. Tapi kalau menurut satu agama tertentu itu adalah sah, hargai itu. Karena ini adalah ranah privat, orang akan bicara keyakinannya. Tidak mudah bicara HAM dan bias gender. Karena di sana ada norma keyakinan. Sebenarnya kunci itu saja yang kita pegang. Kalau menurut agama dan keyakinan anda tidak sesuai, ya sudah tidak sah.
Kepercayaan mana pun selalu mengaitkan perkawinan dengan Tuhan. Ini sangat unik. Tidak bisa serta merta orang bicara UU Perkawinan tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Dan ini bukan berarti saya berpendapat UU Perkawinan ini tidak boleh diutak-atik, ini bukan kitab suci. UU ini boleh saja diubah. Silakan. Sudah banyak juga yang coba melakukannya lewat Mahkamah Konstitusi kan.
Ada yang diterima permohonannya, kalau tidak salah tentang kedudukan anak luar kawin. Juga soal harta bersama. Itu semua diterima, nggak masalah. UU Perkawinan ini unik. Kalau dikaitkan dengan agama tertentu, dalam Islam tidak dikenal konsep itu tapi akhirnya diakomodasi. Soal anak luar kawin, tidak dikenal kewajiban ayah biologis untuk membiayainya, tapi hasil pengujian di MK jadi punya kewajiban.
Jadi kalau pendapat saya, mengubah UU itu perlu lihat konteksnya dulu. Masalahnya di mana? Masalahnya di UU atau dalam pelaksanaannya? Soal usia perkawinan anak misalnya, itu kan UU Perkawinan bisa dianggap perkawinan anak-anak. Saya setuju ada sisi negatifnya, tapi apakah menaikkan usia perkawinan akan menyelesaikan masalah seluruhnya?
Bicara soal usia kawin, menurut anda ini bukan persoalan dalam pengaturan perkawinan?
Ada masalah besar generasi muda kita soal pergaulan bebas, perzinahan. Ini kan wilayah privat. Kita sebagai negara timur belum menerima hal itu. Lalu kita larang generasi muda menikah karena batas usianya belum memadai dan mereka tidak bisa menikah. Bagaimana kalau anak ini lebih matang secara biologis?
Saya tidak mengabaikan ada kemungkinan kendala psikologis dan biologis yang mungkin terjadi. Tapi kebolehan perkawinan di usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan harus dilihat juga sebagai jalan keluar.
Kita lihat deh syarat perkawinan, ada persetujuan orang tua, persetujuan calon pengantin, harus laki-laki dengan perempuan, itu harus dipenuhi dulu. Jika anaknya bersedia menikah, apa yang harus kita lakukan di wilayah privat itu?
Yang tidak boleh itu adanya pemaksaan dalam perkawinan. Kedua anak masih ingin sekolah lalu dipaksa menikah. Nah ini saya tidak setuju. Tapi kalau anaknya bersedia, orang tua setuju, silakan.
Ini bukan berarti saya mengabaikan kemungkinan negatif dari bentuk perkawinan anak-anak, tapi pengaturan kebolehan usia muda untuk perkawinan ini perlu dilihat sebagai jalan keluar untuk masalah yang mereka hadapi.
Perlu diingat ada pengaturan bahwa dispensasi usia kawin sebelum batas 19 tahun dan 16 tahun pun melibatkan penilaian pengadilan. Yang penting tidak ada paksaan menikah kepada para mempelai.
Anda melihat bahwa peran negara untuk perkawinan telah cukup memadai dalam mencegah dampak buruk perkawinan anak-anak?
Begini, misalnya si anak ingin menikah lalu orangtua tidak setuju, kan tidak bisa. Atau sebaliknya, anaknya dipaksa menikah. Nah ini ada peran petugas pencatat perkawinan, Kantor Urusan Agama misalnya. Sebagai petugas negara mereka bisa memutuskan untuk tidak menikahkan. Negara punya ruang di sini. Dispensasi lewat pengadilan kan membuat hakim juga bisa memeriksa dulu bukti-buktinya sebagai pertimbangan.
Soal syarat sah perkawinan berdasarkan agama, mengapa urusan privat harus dikaitkan dengan agama? Bukankah Indonesia bukan negara agama?
Ini uniknya Indonesia. Memang ada ranah privat dalam perkawinan tetapi dikunci dengan norma agama dan kepercayaannya. Sehingga apapun kata agama jika diboleh maka boleh saja. Begitu juga sebaliknya. Jadi untuk agama mana saja.
Contohnya poligami dalam ajaran Hindu dibolehkan dengan para wanita yang saling bersaudara kandung. Dalam Islam ini dilarang. Tapi bagi umat Hindu, mereka sah melakukan perkawinan poligami semacam itu.
Indonesia memang bukan negara agama tetapi negara hukum. Dalam arti Pancasila, hukum di negara ini mengacu konsensus ideologi dasar negara. Ada pengakuan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, tentu ini nilai-nilai agama.
Semua itu korelasinya di situ. UU apapun tidak boleh meminggirkan nilai-nilai agama. Perlu dipahami, bahkan setiap pasal UU Perkawinan yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang diyakini mempelai harus dikesampingkan dalam perkawinan mereka. Agama itu kan banyak, sulit diatur satu per satu.
Misalnya soal poligami, Kristen melarang poligami, maka pengaturan poligami tidak berlaku bagi mereka. Nggak bisa dilakukan karena dilarang agamanya. Selama itu diatur dalam agamanya, silakan dipakai. Begitu pula sebaliknya.
Bagaimana soal status suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga? Ini dinilai diskriminatif bagi perempuan.
Menurut saya itu soal berbagi fungsi dan peran. Pada dasarnya UU Perkawinan tidak mewajibkan perempuan mencari nafkah, tapi tidak melarang. Perlu diingat ada fungsi dasar biologis berbeda yang dimiliki laki-laki dan perempuan. UU Perkawinan menghargai ini. Ada beban kewajiban bagi laki-laki. Tapi kenyataannya, diatur demikian saja masih ada laki-laki yang tidak bekerja menghidupi keluarga. Justru istri yang harus mencari nafkah. Bagaimana nanti jika tidak diatur demikian? Perempuan lebih dirugikan.
Saya tidak melihat sebagai hak lebih pada laki-laki, tetapi berbagi peran sekaligus meletakkan kewajiban lebih besar bagi laki-laki. Menurut saya kalau perlu ada sanksi pidana jika laki-laki sebagai suami tidak memenuhi kewajiban ini.
Seandainya para perempuan yang sudah bekerja membanting tulang lalu menuntut agar diubah bahwa mereka juga bisa sebagai kepala keluarga, bukankah hanya menjadi beban bagi perempuan? Tidak ada peluang bagi mereka menuntut tanggung jawab suaminya.
Ada fitrah manusia dalam hal ini. Secara anatomi biologis saja ada perbedaan alami antara laki-laki dengan perempuan. Ada peran berat perempuan untuk mengandung, menyusui, dan menjadi sosok Ibu. Tuntutan perempuan juga sebagai keluarga akan membebani lebih banyak. Jika ada kesepakatan di antara suami istri bahwa istrinya boleh bekerja itu silakan saja. Tapi tidak dengan menetapkannya sebagai norma dalam UU.
Perkawinan harus dilihat sebagai lembaga di wilayah privat yang melibatkan agama, kepercayaan, dan hukum. Kita sebagai orang luar dari setiap perkawinan tidak bisa memukul rata dengan sudut pandang pribadi. UU Perkawinan saat ini memang lebih mengatur secara administratif peran dan tanggung jawab dalam perkawinan dengan menyerahkan lebih banyak kepada kesepakatan suami istri berdasarkan norma agamanya. Negara menghormati pengaturan wilayah privat yang telah mereka pilih sendiri lewat agama yang dianutnya. Oleh karena itu tidak ada tempat bagi ateisme di Indonesia.
Kalau memang perlu diubah, silakan saja diubah istilah ibu rumah tangga menjadi kepala rumah tangga. Jadi tidak lagi mengesankan perempuan tidak boleh bekerja. Tapi yang lebih mendesak jika memang dirasa perlu diubah, saya rasa sanksi pidana bagi suami bisa diatur apabila tidak menjalankan kewajibannya. Hal lain tentang perlindungan lebih bagi perempuan dan anak bisa juga diubah, namun tetap tidak mengabaikan norma agamanya. Ini uniknya Indonesia dengan dasar negara Pancasila.
Sebenarnya peran negara sudah ada, tinggal dikuatkan saja lewat lembaga-lembaga yang terkait dalam pelaksanaannya. Misalnya ada Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.
Saya akui bahwa selama ini ada pelaksanaan perkawinan yang tidak konsisten dengan UU Perkawinan. Kita ketahui ada penyelundupan hukum soal perkawinan beda agama yang tetap bisa dicatatkan atau masih adanya pemaksaan perkawinan pada usia anak-anak. Oleh karena itu ketegasan sanksi bagi pelanggaran norma UU Perkawinan ini perlu dipertimbangkan. Petugas Kantor Urusan Agama bisa jadi ujung tombak.
Hal lain yang penting soal pencatatan perkawinan. Bagaimana caranya agar masyarakat mencatatkan perkawinannya untuk jaminan hukum negara. Ini isu penting. Tolong memperhatikan kajian yang lengkap, bukan sekadar merujuk HAM tanpa melihat secara utuh. UU Perkawinan harus berhubungan dengan konsensus negara Pancasila, kalau mau menikah dengan sesama jenis misalnya, buktikan dulu apakah ada agama yang menerima konsep semacam itu?