"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Politik Perppu Fitra Arsil Republika

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > Politik Perppu Fitra Arsil Republika

Politik Perppu

Oleh: Fitra Arsil

Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

 

Kekuasaan presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), dalam konteks politik, tidak mungkin terhindarkan untuk dibaca sebagai cara presiden membangun relasi eksekutif dan legislatif. Kekuasaan jenis ini dikenal dengan sebutan kekuasaan presiden di bidang legislatif (President’s legislative power) yang ketika digunakan, membuat presiden menjadi pihak pembuat inisiatif kebijakan bahkan pengendali agenda di lembaga legislatif. Kekuasaan yang dapat dikelompokkan dalam jenis ini antara lain  adalah kekuasaan presiden melakukan veto terhadap proses legislasi di parlemen, membuat inisiatif kebijakan secara ekslusif dalam bidang-bidang tertentu, mengadakan referendum atau plebisit,  kekuasaan khusus dalam pembentukan anggaran negara dan menetapkan peraturan (setingkat undang-undang) melalui putusan presiden. (Payne, 2007). Presiden di negara-negara presidensial umumnya memiliki kekuasaan jenis ini.  Praktek penggunannya di negara-negara presidensial dengan multipartai yang terfragmentasi ternyata membuat dinamika politik menghangat dan pada tingkat tertentu mengganggu stabilitas pemerintahan.  Indonesia sebagai negara dengan sistem pemerintahan dan karakter kepartaian yang sama tentu perlu mengambil pelajaran dari negara-negara yang pernah berhadapan dengan kondisi tersebut.

Perppu Di Presidensial Amerika Latin

Di negara-negara Amerika Latin yang bersistem presidensial dengan kondisi kepartaian yang multipartai dan terfragmentasi tinggi, kekuasaan presiden di bidang legislatif terlihat besar kontribusinya dalam membentuk  pemerintahan yang stabil dan efektif. Presiden-presiden yang sukses memerintah adalah presiden yang memiliki kekuasaan di bidang legislatif yang besar dalam konstitusinya (constitutional power) dan mampu membentuk  koalisi mayoritas di parlemen (partisan power). Namun demikian jika presiden salah menggunakan kekuasaannya di bidang legislatif yang terjadi justru instabilitas yang mengancam pemerintahannya.

Di Brazil kekuasaan presiden menerbitkan peraturan sejenis Perppu diatur dalamArticle 62 Konstitusi Brazil 1988.  Presiden Brazil memiliki kekuasaan  untuk melakukan tindakan yang proaktif dalam perundang-undangan yaitu menerbitkan presidential legislative decree yang di Brazil dikenal dengan sebutan medidas provisorias atau tindakan sementara. Dengan kekuasaan ini, Presiden Brazil dapat mengeluarkan peraturan yang langsung berlaku tanpa membutuhkan persetujuan parlemen. Namun  konstitusi membatasi kekuasaan ini dengan memberikan syarat bahwa kekuasaan ini dapat dilakukan oleh presiden dalam kondisi yang tepat dan mendesak (relevance and urgency) dan dalam waktu 30 hari setelah diterbitkan parlemen harus menentukan sikap untuk menerima peraturan tersebut yang berakibat menjadikannya undang-undang ataupun menolak yang berakibat tidak berlakunya peraturan tersebut.

Kekuasaan mengeluarkan Perppu ini, dalam praktiknya, telah digunakan Presiden Brazil untuk membuat kebijakan dengan mengabaikan kongres.Presiden-presiden Brazil sering mengeluarkan peraturan jenis ini walaupun kondisi yang tepat dan mendesak sebagai syarat mengeluarkannya dapat dipertanyakan. Dalam kurun waktu 5 Oktober  1988 hingga bulan Mei tahun 1995, tercatat empat Presiden Brazil telah mengeluarkan 1004 Perppu. Bahkan menariknya, Presiden Brazil mengeluarkan kembali berkali-kali Perppu yang telah ditolak parlemen.  Dapat disebutkan data  bahwa Presiden Sarney mengeluarkan 147 Perppu, De Mello 160 Perppu, Franco 505 Perppu dan Presiden Cardoso mengeluarkan 192 Perppu (Mainwaring, 1997).

Salah satu yang fenomenal adalah kisah Presiden ke-32 Brazil,Fernando Affonso Collor De Mello.  De Mello  mengeluarkan tidak kurang dari 36 Perppu pada 15 hari pertama menjabat dan sekitar 160-anPerppu sepanjang tahun 1990. De Mello terus mengeluarkan Perppu-Perppunya sepanjang tahun sampai di awal tahun kedua kekuasaannya (Neto, 2000). De Mello memang menginginkan menjalankan pemerintahannya dengan menghindari dari proses di legislatif. Perppu-Perppu yang dikeluarkannya membuat Ia tidak perlu terlibat dalam proses di legislatif dalam membuat kebijakan. Ironisnya, langkah De Mello memutuskan memerintah dengan mengabaikan legislatif ini berakhir dengan keputusan impeachment terhadap dirinya. De Mello adalah contoh presiden yang merasa kekuasaan yang diberikan konstitusi cukup untuk memerintah tanpa dukungan legislatif. De Mello menganggap membangun dukungan di legislatif akan membatasi otonominya dalam membuat kebijakan.

Pesan Politik Perppu

Jika membaca fenomena penggunaan Perppu dalam rangka mengabaikan parlemen di negara-negara Amerika Latin dapat diambil beberapa pesan. Pertama, cara presiden menghadapi lembaga legislatif dengan penggunaan president’s legislative power pada prakteknya bukanlah membuat hubungan eksekutif-legislatif menjadi semakin baik namun justru menambah ketegangan antara dua kekuasaan ini. Jika presiden berhasil menggunakannya, cenderung presiden menganggap cara tersebut merupakan langkah yang tepat untuk menghadapi legislatif sehingga digunakan terus menerus. Sementara parlemen menganggap penggunaan kekuasaan ini secara berulang merupakan perlawanan terhadap eksistensi parlemen sebagai pembentuk kebijakan yang utama dan sebagai pemegang kekuasaan pengawasan. Di Brazil, langkah De Mello untuk mengabaikan parlemen membuatparlemen melawan dengan memulai proses impeachment dan memutuskan pemberhentiannya.

Kedua, parlemen dapat dikatakan diabaikan dalam penerbitan Perppu jika materi pengaturannya adalah melawan sikap parlemen. Di Brazil, suatu Perppu yang ditolak parlemen kembali diterbitkan presiden bahkan dilakukan terus berulang-ulang. Jika presiden menerbitkan Perppu yang memiliki materi yang sama dengan undang-undang yang baru diputuskan legislatif bahkan pengaturannya belum pernah diterapkan, seperti yang terjadi dalam Perppu tentang Ormas, tentu penting sekali untuk diwaspadai.

Ketiga, materi pengaturan yang terdapat di Perppu dapat juga menjadi indikator apakah Perppu tersebut mengatasi kegentingan memaksa untuk masyarakat luas atau hanya kegentingan penguasa eksekutif. Di Konstitusi Argentina 1994, presiden diberikan kekuasaan untuk membuat Perppudalam suatu kondisi yang luar biasa (exceptional circumtances) yang dapat langsung berlaku. Namun konstitusi memberi pengecualian terhadap masalah ketentuan pidana, perpajakan, masalah pemilihan umum dan sistem kepartaian sebagai bidang yang tidak boleh diatur. Semua masalah ini dianggap tidak bisa diberlakukan kebijakan apapun tanpa keterlibatan parlemen.

Keempat,Parlemen dan masyarakat harus menolak langkah sepihak dan subjektif presiden dalam pembentukan kebijakan dengan cara yang tepat dan efektif karena membiarkannya berarti akan melahirkan pemerintahannya yang otoriter. Presiden De Mello di Brazil menghentikan Perppu-Perppunya ketika parlemen menggagas sebuah RUU yang mengatur mengenai pembatasan penerbitan Perppu oleh Presiden yang dikenal dengan Jobim Bill karena inisiator lahirnya RUU ini adalah seorang politisi bernama Nelson Jobim. Meskipun Jobim dan kawan-kawannya gagal, usaha mereka nampak berpengaruh bagi De Mello. Ketika Jobim Bill sedang dibahas oleh parlemen, De Mello tidak mengeluarkan sebuah Perppu pun.Jika melihat pengalaman di tahun pertamanya dimana dia sangat sering  mengeluarkan Perppu, hal ini sangat bertolak belakang. Namun reaksi parlemen yang efektif ini dapat dikatakan terlambat karena RUU tersebut baru dibahas setelah De Mello mengeluarkan 196 Perppu sehingga walaupun berhasil menghentikan penerbitan Perppu tetapi tidak menghalangi parlemen untuk meneruskan perlawanan kepada De Mello yang berakhir dengan pemberhentiannya dari jabatan presiden.  Melihat fakta ini dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya setiap tindakan menuju otoriterisme perlu mendapat perlawanan. Perlawanan yang harus dilakukan harus langsung menyentuh substansi dan dilakukan melalui jalur konstitusional agar tidak berkembang berubah menjadi instabilitas pemerintahan.

Penggunaan Perppu sebagai cara membentuk kebijakan strategis memiliki berbagai dampak tidak terbatas seperti diuraikan di atas yang membahasnya hanya dalam perspektif relasi politik eksekutif-legislatif. Dampak yang ditimbulkan dari pembentukan kebijakan sepihak dan menafsirkan kondisi kegentingan memaksa secara subjektif tentu bisa menjadi sangat luas. Setiap kebijakan dengan tingkat ketelitian rendah dan tanpa melewati mekanisme perwakilan berpotensi menuai perlawanan dalam prakteknya. Oleh karena itu, seharusnya presiden memang berhemat betul dalam mengeluarkan peraturan jenis ini.

Artikel ini telah dimuat di Koran Republika (Selasa, 18 Juli 2017)

 

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI