"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Sekali Lagi Soal “Diyat”

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Media > Sekali Lagi Soal “Diyat”

Uang “diyat” untuk Satinah sudah ditransfer senilai tujuh juta riyal atau senilai Rp 21 miliar. Dari jumlah itu, hampir separuhnya, yaitu 3 juta riyal atau Rp 9 miliar, ditanggung oleh pemerintah dan sisanya merupakan sumbangan dari berbagai pihak. Tahun 2011, pemerintah juga membayar “diyat” sebesar Rp 4,7 miliar untuk Darsem.

Satinah adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi yang terancam hukuman mati. Untuk menghindari hukuman tersebut, dalam sistem hukum Arab Saudi yang berlaku qisas, keluarga yang menjadi korban kejahatan Satinah harus memberi maaf.

Keluarga dalam memberikan maaf dapat meminta imbalan. Imbalan inilah yang disebut diyat atau pengganti uang darah dari orang yang dibunuh. Dalam kasus Satinah, keluarga korban meminta jumlah diyat yang fantastis, yaitu Rp 21 miliar!

Perlindungan

Pemerintah sebenarnya telah berupaya maksimal melindungi Satinah saat ia dituduh membunuh. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun telah mengirim surat kepada Raja Arab Saudi yang isinya agar ada keringanan hukuman bagi Satinah. Satuan tugas juga telah dikirim ke Arab Saudi untuk membantu merundingkan jumlah diyat.

Menjadi pertanyaan apakah pembayaran diyat merupakan tanggung jawab pemerintah dalam rangka perlindungan terhadap warganya? Apakah ke depan pemerintah yang harus membayar diyat sebagaimana kasus Darsem dan Satinah?

Jawabannya adalah tidak. Pemerintah tidak seharusnya membayar diyat kepada keluarga korban atas kejahatan yang dilakukan oleh warganya. Ada tiga alasan yang bisa menjadi dasar sikap pemerintah ini.

Pertama, harus dipahami bahwa diyat adalah uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kejahatan atau keluarganya, bukan oleh pemerintah. Uang diyat ini sebagai imbalan bagi pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku. Maka diyat tidak seharusnya dibayarkan oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara.

Pemerintah tentu berkewajiban melindungi warganya, tetapi wujudnya adalah pengawalan proses hukum, termasuk mencarikan pengacara setempat, hingga pelaku menjalani masa hukuman. Intinya adalah pembayaran diyat merupakan hubungan antara pelaku dan keluarga korban yang bersifat kontraktual. Kalau masyarakat di Indonesia ada yang bersimpati terhadap nasib Sutinah, mereka boleh saja mengumpulkan dana. Dana inilah yang disampaikan kepada keluarga Satinah untuk dibayarkan kepada keluarga korban.

Kedua, apabila pemerintah yang membayar diyat, maka, ke depan, akan ada tuntutan untuk terus menaikkan nilai diyat dari keluarga korban kejahatan dengan pelaku warga negara Indonesia (WNI). Mengapa?

Para keluarga korban kejahatan oleh WNI akan tahu bahwa Pemerintah Indonesia akan berperan dalam pembayaran diyat. Mereka akan menganggap kemampuan Pemerintah Indonesia tidak akan ada batasnya, sehingga mampu untuk membayar seberapa pun uang diyat yang diminta keluarga korban. Ini akan memicu komersialisasi diyat.

Kondisi ini tentu tidak baik. Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban. Bahkan, pemerintah negara lain yang memiliki warga di Arab Saudi dan membunuh di situ akan terkena dampaknya. Mereka pun akan diperas. Mereka akan ditekan oleh publik dengan merujuk tindakan Pemerintah Indonesia yang bak pahlawan bagi warganya.

Terakhir, tidak adil bagi masyarakat di Indonesia bila uang negara harus digunakan untuk membayar diyat, apalagi bila nilainya terus meningkat dan semakin tidak masuk akal. Hal ini akan menghilangkan hak banyak warga negara untuk mendapat kesejahteraan. Perlu diingat bahwa TKI yang terancam hukuman mati saat ini lebih dari 30 orang. Bila dari jumlah ini keluarga korban meminta diyat dengan jumlah yang fantastis, bukankah ini akan menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara?

Dilematis

Pembayaran diyat oleh pemerintah menjadi dilematis. Pemerintah bagai menghadapi pelaku kejahatan yang menyandera sejumlah orang dan meminta uang tebusan untuk pembebasan. Bahkan dalam konteks penyanderaan, pemerintah masih mempunyai opsi untuk melumpuhkan pelaku kejahatan. Opsi ini yang tidak tersedia ketika keluarga korban mengomersialkan diyat.

Meski demikian, tidak berarti pemerintah harus membayar diyat. Pemerintah tidak boleh sekali-sekali tunduk pada tuntutan dan tekanan. Pemerintah harus mengambil keputusan yang tepat.

Walau usulan ini sudah terlambat, pemerintah sebenarnya bisa melakukan upaya lain untuk menyelamatkan nyawa Satinah, yakni dengan menyampaikan kepada keluarga korban bahwa kondisi Satinah dan keluarganya memang tidak mampu bila harus membayar uang diyat yang luar biasa besar. Pemerintah juga dapat menyampaikan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia bagi Satinah.

Pembayaran diyat, bila dilakukan, harus berasal dari keluarga Satinah ataupun sumbangan dari masyarakat yang bersimpati terhadap Satinah.

Kalaupun pemerintah telah mengalokasikan dana, seharusnya dana itu bersifat sumbangan. Bukan sebaliknya: pemerintah yang membayar diyat dan kekurangannya ditutup dengan sumbangan dari masyarakat.

Pembayaran diyat oleh pemerintah adalah preseden buruk untuk siapa pun yang memimpin negeri ini.

Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Dari Kompas Siang Kamis, 10 April 2014

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI