"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual Oleh: Nathalina Naibaho dan Tunggal S

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Polemik Kebiri Kimia bagi Pelaku Kekerasan Seksual Oleh: Nathalina Naibaho dan Tunggal S

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak sebagai turunan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Aturan ini memberikan kewenangan kepada negara untuk dapat menjatuhkan Tindakan Kebiri Kimia bagi Pelaku Persetubuhan terhadap Anak, yang mana tindakan kebiri kimia sebagai pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau menggunakan metode yang lain.

Tindakan kebiri kimia ini hanya dilakukan kepada pelaku dewasa yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, yang mana perbuatannya menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, yang bertujuan untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi. Tindakan kebiri kimia ini akan dijalankan setelah pelaku menjalani pidana pokoknya. Terbitnya peraturan ini diharapkan dapat menjadi jawaban tentang pelaksanaan tindakan kebiri kimia dalam praktik.

 

Putusan Pengadilan Negeri Mojokerto No.69/Pid.Sus/2019/PN.Mjk merupakan putusan pertama yang isinya memerintahkan penjatuhan tindakan kebiri kimia bagi Terpidana M. Aris, setelah selesai menjalani pidana penjara. Namun, di sisi lain, tindakan kebiri kimia menuai kritik termasuk dari aliansi profesi, terkait dampaknya terhadap terpidana, hak dasar terpidana yang rentan terlanggar, dan siapa pihak yang akan melakukan eksekusinya? Dengan demikian, tulisan ini dimaksudkan untuk membuat terang apa tujuan tindakan kebiri kimia, siapa yang perlu untuk dikenai tindakan ini, dan polemik yang mengemuka terkait penerapannya.

Falsafah Pemidanaan Indonesia

Dua aliran utama yang berkembang di Indonesia yaitu aliran retributif dan aliran utilitarian yang membentuk teori-teori tujuan pemidanaan, yakni teori retributif, teori deterrence/pencegahan, teori rehabilitasi, teori resosialisasi dan teori integratif. Teori retributif, teori ini sering disebut sebagai suatu pembalasan bahwa orang yang telah melakukan kejahatan harus mendapatkan hukuman sebagai suatu konsekuensi, sehingga pidana yang diterima oleh seseorang sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang dilakukannya. Teori deterrence menjelaskan bahwa pidana memiliki tujuan lain selain hanya untuk balas dendam kepada pelaku.

Jeremy Bentham berpendapat bahwa pidana memiliki tujuan untuk mencegah semua pelanggaran (to prevent all offences); mencegah pelanggaran yang paling jahat (to prevent the worst offences); menekan kejahatan (to keep down mischief); dan/atau menekan kerugian dengan biaya sekecil-kecilnya (to act the least expense). Selanjutnya teori rehabilitasi, berangkat dari pandangan bahwa penyebab orang melakukan kejahatan dikarenakan adanya suatu penyakit,  sehingga pemidanaan bertujuan untuk memperbaiki diri si pelaku yang berfokus untuk pengobatan sosial dan moral terhadap terpidana agar dapat kembali berintegrasi ke dalam masyarakat.  

 

Teori resosialisasi mensyaratkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk mempersiapkan pelaku kejahatan kembali kepada masyarakat, sebagai manusia seutuhnya. Sehingga dipandang perlu untuk membekali pelaku dengan berbagai keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan agar ia dapat hidup mandiri di dalam masyarakat. Jika pemidanaan memiliki orientasi sebagai pembalasan, pencegahan dan penjeraan, perlindungan masyarakat, pengobatan, pemasyarakatan dan ganti kerugian, maka perpaduan dari semua tujuan pemidanaan menjadi tujuan dari teori integratif. Untuk mengetahui tujuan apa yang hendak dicapai dari suatu ancaman atau penjatuhan sanksi, maka dapat diperiksa dari tujuan yang terdapat dalam bagian aturannya, dalam naskah akademik dan catatan risalah rapat perumusan suatu ketentuan serta dapat pula ditemukan dalam pertimbangan di suatu putusan, meski untuk mengetahui tujuan pemidanaan yang dianut oleh petugas penegak hukum bukanlah hal yang mudah sebab tujuan tersebut tidak selalu dijelaskan dalam produk hukum yang dihasilkannya.

Tujuan Pemidanaan dalam Penjatuhan Tindakan Kebiri Kimia di Indonesia

Dalam UU No. 17 Tahun 2016 dan PP No. 70 Tahun 2020 dapat diketahui bahwa tujuan penambahan ketentuan mengenai tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi adalah untuk mengatasi kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Lalu, penjatuhan tindakan kebiri kimia akan dibarengi dengan adanya pemasangan alat pendeteksi dan rehabilitasi bagi pelaku.

Berdasarkan penelitian pustaka yang telah dilakukan, maka ditemukan bahwa tindakan kebiri kimia akan efektif jika dijatuhkan kepada pelaku persetubuhan yang menderita gangguan pedofilia. Pelaku persetubuhan terhadap anak yang menderita gangguan pedofilia merupakan pelaku yang mengalami gangguan kesehatan, oleh karenanya perlu untuk diobati untuk mencegah kejahatan serupa terulang kembali. Proses penyembuhan tersebut dapat diterapkan dengan mengurangi produksi hormon pelaku sekaligus melakukan rehabilitasi secara psikis, yang mana kedua tindakan tersebut dapat menghilangkan dorongan seksual pelaku yang menyimpang.

Dalam hal pelaku persetubuhan terhadap anak bukan merupakan penderita gangguan pedofilia, maka pelaku tersebut tidak memiliki gangguan kesehatan yang perlu untuk diobati. Dengan demikian, tindakan kebiri kimia sebenarnya bukan hanya sebagai sanksi yang bertujuan rehabilitasi, namun memiliki tujuan sebagai pembalasan dan sebagai wujud pertanggung jawaban atas tindak pidana yang telah dilakukannya, yang merupakan integrasi dari teori pembalasan dan teori pencegahan.

 

Tindakan kebiri kimia memiliki tujuan rehabilitasi jika dijatuhkan terhadap pelaku yang menderita gangguan pedofilia, karena kebiri kimia bertujuan untuk menyembuhkan “penyakit” yang terdapat dalam diri pelaku yang menyebabkannya melakukan tindak pidana. Lalu, sanksi ini akan bersifat retributif jika tindakan kebiri kimia dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual yang tidak menderita gangguan pedofilia. Penerapan tindakan kebiri kimia bagi pelaku yang tidak memiliki penyimpangan seksual pedofilia akan menjadi suatu hal yang tidak memiliki manfaat dan hanya memberikan rasa takut bagi pelaku. Untuk itu, dalam upaya menghormati hak dasar pelaku, sebelum dilakukan proses penuntutan dalam sistem peradilan pidana, maka perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan dan kejiwaan yang menyeluruh terhadap pelaku sebagai upaya mitigasi guna mengurangi risiko atas dampak lain yang tidak diharapkan pasca pelaksanaan tindakan kebiri kimia.

Praktik Tindakan Kebiri Kimia di Indonesia

Berdasarkan PP No. 70 Tahun 2020, tindakan kebiri kimia dikenakan terhadap pelaku persetubuhan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, diberikan untuk jangka waktu maksimal dua tahun yang disertai dengan rehabilitasi serta dibiayai oleh negara. Selanjutnya, muncul pertanyaan, seperti: Apa yang menjadi dasar lamanya jangka waktu dari tindakan kebiri kimia ini; Apakah telah dilakukan riset yang mendalam? Apakah akan sama jangka waktunya untuk semua pelaku? Bagaimana jika dalam tempo dua tahun tersebut tidak ada perubahan hormonal yang signifikan bagi pelaku, sehingga pelaku potensial mengulangi tindak pidana? Pertanyaan ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi para pemangku kepentingan.

Kemudian, pelaksanaan tindakan kebiri kimia akan dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, penilaian klinis, yang dilakukan oleh petugas yang memiliki kompetensi di bidang medis dan psikiatri yang berasal dari koordinasi kementerian kesehatan dengan pihak kejaksaan. Penilaian klinis meliputi wawancara klinis dan psikiatri, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kedua, kesimpulan yang memuat hasil dari penilaian klinis yang memastikan pelaku persetubuhan terhadap anak layak atau tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia. Ketiga, pelaksanaan tindakan kebiri kimia. Dalam hal kesimpulan atas penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan terhadap anak tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia, maka pelaksanaan tindakan kebiri kimia ditunda paling lama selama enam bulan.

 

Dalam masa penundaan tersebut, akan dilakukan penilaian klinis ulang dan kesimpulan ulang untuk memastikan layak atau tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia. Apabila dalam penilaian klinis ulang dan kesimpulan ulang masih tetap menyatakan pelaku persetubuhan terhadap anak tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia, maka jaksa akan memberitahukan secara tertulis kepada pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara dengan melampirkan hasil penilaian klinis ulang dan kesimpulan ulang. Sementara itu, bila kesimpulan penilaian klinis menyatakan bahwa pelaku persetubuhan terhadap anak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia, maka dalam jangka waktu paling lama tujuh hari kerja sejak kesimpulan atas penilaian klinis diterima, jaksa akan memerintahkan dokter untuk melaksanakan tindakan kebiri kimia.

Pelaksanaan tindakan kebiri kimia akan dilakukan di rumah sakit milik pemerintah atau rumah sakit daerah yang ditunjuk dengan dihadiri oleh jaksa, perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM  Kementerian Sosial, dan Kementerian Kesehatan. Pelaksanaan tindakan kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan kepada anak dilakukan bersama-sama rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik. Pelaksanaan rehabilitasi ini mulai diberikan paling lama tiga bulan setelah pelaksanaan tindakan kebiri kimia. Jangka waktu pelaksanaan rehabilitasi sesuai dengan pelaksanaan tindakan kebiri kimia, dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama tiga bulan setelah pelaksanaan tindakan kebiri kimia yang terakhir. Menurut penulis, penentuan jangka waktu ini perlu didasarkan pada riset yang mendalam, bersifat fleksibel dan dapat diterapkan secara berbeda serta perlu dievaluasi untuk setiap pelaku dengan karakteristiknya masing-masing.

Selanjutnya, tindakan kebiri kimia tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku anak yaitu mereka yang pada saat melakukan tindak pidana belum berusia 18 tahun. Bagi pelaku yang usianya antara 18-21 tahun pada saat melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana penjara selama 10 tahun, lalu menjalani tindakan kebiri kimia setelah pidana pokoknya selesai, yang mana usianya masih berada di bawah 35 tahun dan fungsi hormonalnya masih sangat baik, bagaimana dampak tindakan kebiri kimia terhadap pelaku usia muda tersebut? Bagaimana dengan pelaku perempuan dewasa atau transeksual usia dewasa? Apabila berbicara tentang kasus kekerasan seksual, yang ada di benak masyarakat biasanya adalah bahwa pelaku adalah pria dewasa, namun tidak tertutup kemungkinan tindak pidana itu dilakukan oleh pelaku dengan jenis kelamin/orientasi seksual lain.

Petugas yang melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia merupakan petugas khusus yang memiliki kompetensi di bidangnya dan dilakukan atas perintah jaksa, sebagai bagian dari melaksanakan putusan pengadilan. Diskusi yang mengemuka perihal kode etik dari pelaksanaan kebiri kimia dapat diselesaikan melalui teori bioetika kedokteran, yang menjadi jembatan saat terjadi argumentasi antara ilmu kedokteran, etika, moral, displin ilmu lain seperti ilmu hukum yang muncul sebagai dari perkembangan dan kemajuan dalam ilmu kedokteran, ilmu pengetahuan, dan bioteknologi. Sehingga terbuka kemungkinan bahwa dokter dapat melakukan tindakan kastrasi/kebiri kimia sebagai bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan yang patut dihormati serta menjawab diskursus dalam hal etika, kedokteran dan hukum.

 

Penutup

Tindakan kebiri kimia merupakan respon negara yang dinantikan oleh masyarakat pencari keadilan yang terdampak oleh kasus kekerasan seksual terhadap anak. Namun demikian, terobosan dalam penegakan hukum perlindungan anak ini perlu didasarkan pada pengujian dan penilaian yang menyeluruh baik dari segi medis, psikologis, dan hukum sebagai upaya mitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan oleh tindakan kebiri kimia. Dampak yang mungkin dirasakan oleh pelaku sebagai akibat dari tindakan kebiri kimia adalah depresi, yang mana pelaku dapat merasa kuatir akan akibat negatif yang timbul dari tindakan kebiri kimia yang dikenakan padanya.

Selanjutnya, stigma dari masyarakat dapat dialami manakala identitasnya diumumkan dan dilakukannya pemasangan alat deteksi elektronik dapat memicu pelaku mengulangi perbuatannya atau melukai dirinya sendiri meski ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan si pelaku dan dapat pula bertujuan untuk membebaskan pelaku dari rasa bersalah. Merespon hal ini maka semangat retributif yang hendak menghukum pelaku secara berlebihan dari seluruh elemen masyarakat perlu dijaga oleh hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, tindakan kebiri kimia hanya dapat diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual dengan kualifikasi tertentu dan pelaksanaannya dilakukan oleh petugas dengan kompetensi tertentu. Penentuan itu harus berdasarkan pada hasil pemeriksaan kondisi kesehatan fisik dan psikis pelaku. Data tersebut diperoleh melalui uji klinis yang tepat dan lengkap sebelum proses penuntutan terhadap pelaku dimulai.

Setelah tindakan kebiri kimia dilakukan, pengawasan dan bantuan medis yang berkelanjutan terhadap kondisi kesehatan fisik dan psikis pelaku kekerasan seksual perlu dilakukan untuk memastikan apakah tujuan tindakan yang dijatuhkan kepada pelaku dapat tercapai. Tujuan tindakan kebiri kimia tersebut tersebut adalah perpaduan antara penjeraan, pencegahan dan rehabilitasi bagi pelaku dewasa dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan gangguan pedofilia. Termasuk tercapainya tujuan pengaturan tindakan kebiri kimia yakni untuk mengatasi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Kiranya para pemangku kepentingan dapat menjawab polemik yang ada.

 

*)Nathalina Naibaho adalah Dosen Tetap pada Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum UI dan Tunggal S adalah alumi pada peminatan hukum pidana Fakultas Hukum UI.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60191b7c4187b/polemik-kebiri-kimia-bagi-pelaku-kekerasan-seksual-oleh–nathalina-naibaho-dan-tunggal-s?page=3

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI