"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Menilik Uji Materi Undang-Undang Perkawinan Oleh Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Menilik Uji Materi Undang-Undang Perkawinan Oleh Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D.

Pada awal Februari 2022, Mahkamah Konstitusi kembali menerima permohonan menguji Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945. Pemohon, E Ramos Petege, meminta MK untuk, antara lain, menyatakan UU Perkawinan ”tidak lagi relevan dalam mengakomodasi [sic] kebutuhan penegakan hak asasi manusia masyarakat Indonesia seperti yang diamanahkan oleh UUD NRI Tahun 1945” tentang kemerdekaan memeluk agama dan membentuk keluarga. Alasan pemohon adalah kerugian konstitusional aktual yang dialaminya akibat ketidakpastian hukum yang bersumber dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur bahwa ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Pengaturan yang demikian membuat kandas rencana perkawinan pemohon dengan kekasihnya yang berbeda agama. Setelah tiga tahun menjalin hubungan, mereka batal menikah karena pasal tersebut ”tidak memberikan pengaturan apabila perkawinan tersebut dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda”.

Ketentuan yang demikian, menurut pemohon, adalah bertentangan dengan kebebasan memeluk agama dan beribadat (Pasal 28E Ayat 1), kebebasan meyakini kepercayaan (Pasal 28E Ayat 2), hak beragama (Pasal 28I Ayat 1), kewajiban negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut kepercayaannya (Pasal 29 Ayat 2), hak membentuk keluarga (Pasal 28B Ayat 1), hak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28D Ayat 1), kesamaan kedudukan warga negara di dalam hukum (Pasal 27 Ayat 1), dan bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I Ayat 2) dari UUD NRI Tahun 1945.

Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 Ayat (1), ”tidak dapat dan tidak memiliki pengaturan terhadap perkawinan beda agama”, dan melalui putusannya untuk menambahkan pengaturan untuk itu. Permohonan Petege menarik perhatian berbagai media daring yang kemudian menyebarluaskannya dengan judul sensasional yang mengundang klik (clickbait).

Bukan yang pertama

Ini adalah permohonan pengujian kedua untuk Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan. Sebelumnya, Damian Agata Yuvens cs memohon hal yang sama karena merasa melalui pengaturan tersebut negara memaksakan penafsirannya kepada setiap warga negara. Akibatnya terjadi ketidakpastian hukum bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan beda agama karena penerapan hukum agama dan kepercayaan bergantung pada interpretasi individu dan institusi. Sebagai solusinya, mereka meminta MK untuk menambahkan frasa ”sepanjang penafsiran mengenai hukum agamanya dan kepercayaan itu diserahkan kepada masing-masing calon mempelai” dalam Pasal 2 Ayat (1).

Melalui Putusan No 68/PUU-XII/2014, MK menolak permohonan tersebut. Dengan menekankan pada hubungan lahir-batin antara laki-laki dan perempuan dalam membentuk keluarga, MK menyatakan kebahagiaan dan kekekalan rumah tangga adalah berdasarkan agama atau kepercayaan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Pertimbangan ini, sayangnya, tidak menjawab permohonan. Namun, pendapat berbeda (concurring opinon) YM Maria Farida Indrati memberikan informasi tambahan. Frasa tambahan tersebut juga akan membuat ketidakpastian hukum karena setiap calon mempelai dapat menafsirkannya sendiri.

Proses ijab kabul di Gedung ICRP Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (4/12/2020). Pasangan beda agama yang menikah terlihat berdoa dengan kepercayaan mereka masing masing.

Hal yang harus dibuktikan

Apakah benar keresahan pemohon Petege bahwa UU Perkawinan bertentangan dengan konstitusi? Apakah benar kesimpulan pemohon bahwa perkawinan beda agama tidak diatur oleh UU Perkawinan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita harus memastikan bahwa hak-hak konstitusionalnya memang disangkal oleh UU Perkawinan.

Jika Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan kita perhadapkan pada pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 di atas, maka pasal tersebut menjadi bermasalah. Sebabnya adalah penafsiran utama dan terbanyak atas pasal tersebut adalah perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan menurut hukum satu agama. Misalnya, Kan 1124 (Kitab Hukum Kanonik) secara tegas melarang perkawinan antara seorang anggota gereja Katolik dengan bukan anggota (disparitas cultus); demikian juga QS 2:221 dan QS 5:5 melarang perkawinan antara Muslim dan non-Muslim. Pengaturan Pasal 2 Ayat (1), sebagaimana digambarkan dengan tepat oleh Sugiarti Salman (F-PDI) dalam rapat pleno pembahasan RUU Perkawinan tanggal 22 Desember 1973, menunjukkan sangat sulitnya menuangkan kebinekaan dalam bentuk yang dapat diterima oleh semua pihak.

Rumusan Pasal 2 Ayat (1) itu menunjukkan bahwa UU Perkawinan bukanlah satu-satunya hukum positif Indonesia tentang perkawinan.

Namun, rumusan Pasal 2 Ayat (1) itu menunjukkan bahwa UU Perkawinan bukanlah satu-satunya hukum positif Indonesia tentang perkawinan. Frasa ”hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, yang notabene tidak dibuat oleh negara, menunjukkan bahwa terdapat hukum-hukum lain. Hukum agama inilah menyatakan sah/tidaknya suatu perkawinan. Perkawinan yang sah tersebut kemudian diakui oleh negara lewat setelah ada pencatatan sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan.

Selain UU Perkawinan dan hukum agama, masih terdapat peraturan lain tentang perkawinan di Indonesia. Kenyataan ini dapat ditarik dari rumusan Pasal 66 UU Perkawinan yang mengatur bahwa ”Dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers, S 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S 1898 No 158), dan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Dengan demikian, pasal dari peraturan-peraturan ini yang tidak diambil alih pengaturannya atau ihwalnya tidak dilarang oleh UU Perkawinan tetap berlaku.

Berbeda dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan, sesuai dengan namanya Peraturan Perkawinan Campuran (GHR) mengatur antara lain tentang perkawinan beda agama. Pasal 7 Paragraf (2) GHR secara tegas menyatakan bahwa ”Perbedaan agama, bangsa, atau keturunan sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap perkawinan”. Rumusan terdapat dalam Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan yang berbunyi, ”Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan”. Namun, pengaturan tersebut tidak bertahan dalam naskah final yang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR.

GHR masih berlaku

Apakah dengan demikian UU Perkawinan mengambil alih ihwal yang diatur oleh Pasal 7 paragraf (2) GHR dan mengatur bahwa hanya perkawinan satu agama yang sah? Jawabannya adalah tidak.

UU Perkawinan tidak secara tegas melarang perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda agama. Berdasarkan ilmu hukum, ihwal yang tidak dilarang, dalam hal ini perkawinan beda agama, adalah ihwal yang diperbolehkan. Sekalipun UU Perkawinan menekankan pada aspek religius dari perkawinan, tetapi sejauh pengaturan Pasal 2 Ayat (1) negara tidak pernah menyatakan keabsahan suatu perkawinan. Negara hanya akan mencatatkan perkawinan yang menurut hukum agama sudah sah terlaksana. Dengan demikian, menurut Pasal 2 Ayat (1) tidak ada perkawinan di luar menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan para calon mempelai. Dengan kata lain, perkawinan secara beda agama tidak diatur oleh Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan.

Sekalipun UU Perkawinan menekankan pada aspek religius dari perkawinan, tetapi sejauh pengaturan Pasal 2 Ayat (1) negara tidak pernah menyatakan keabsahan suatu perkawinan.

UU Kekuasaan Kehakiman melarang hakim menolak perkara dengan dalih hukum tidak ada atau kurang jelas, dan mewajibkannya untuk memeriksa dan mengadili. Selain itu, dalam melaksanakan jabatannya hakim wajib memahami hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Jika terdapat kekosongan hukum, menurut ilmu pengetahuan hakim juga bertugas menemukan hukumnya (rechtsvinding). Melalui keputusannya, hakim membentuk hukum (rechtsvorming) atau menciptakan hukum (rechtsschepping) untuk menyelesaikan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, kekosongan hukum adalah kondisi yang ditolak oleh hukum positif Indonesia dan ilmu hukum.

Jika Pasal 2 Ayat (1) tidak melarang dan mengatur perkawinan beda agama tetapi mencabut keberlakuan Pasal 7 paragraf (2) GHR, maka kita akan mendapati kekosongan hukum. Dalam masyarakat berbineka seperti Indonesia, perkawinan beda agama merupakan kebutuhan dan kenyataan sosial. Selain itu, negara melalui berbagai pasal undang-undang dasar menjamin kebebasan beragama dan membentuk keluarga, serta persamaan perlakuan bagi setiap warga negara. Oleh karena itu, secara legal dan sesuai ilmu hukum, Pasal 7 paragraf (2) GHR masih berlaku dan merupakan pengaturan tentang perkawinan beda agama untuk Indonesia.

Sebab penolakan pencatatan

Menurut GHR, perkawinan beda agama dilakukan menurut hukum calon mempelai pria di depan kepala sukunya atau, apabila tidak ada, di hadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan. Orang tersebut wajib mengirimkan akta tentang pelaksanaan perkawinan kepada pegawai Catatan Sipil untuk penduduk golongan Eropa, yang akan mencatatkannya ke dalam register khusus.

Praktik pencatatan ini tidak berubah sampai dengan 1 Januari 1989. Perubahan status quo terjadi di Jakarta karena Instruksi No 3614/075.52 Kantor Catatan Sipil DKI tanggal 30 Desember 1988. Sesuai instruksi tersebut, Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta hanya melaksanakan pencatatan perkawinan yang sudah sah menurut agama. Perkawinan Andi Vonny Gani dan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan menjadi pengecualian, karena perintah Mahkamah Agung yang terbit pada 20 Januari 1989 merupakan hasil dari proses perkara yang sudah berjalan lama. Akibatnya laki-laki dan perempuan yang berbeda agama melakukan apa yang disebut penyelundupan hukum, yakni berpindah agama untuk sementara waktu demi terjadi perkawinan menurut salah satu–bahkan dua–agama mereka.

Meski sebenarnya instruksi tersebut, baik secara hukum positif ketika itu maupun ilmu hukum, bertentangan dengan peraturan di atasnya dan melanggar hak konstitusional warga negara, tetapi kontroversi tentang perkawinan beda agama dalam masyarakat membuatnya bertahan untuk waktu yang cukup lama. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberlakuan suatu peraturan dalam suatu masyarakat majemuk tidak hanya bersifat yuridis dan filosofis, tetapi juga sosiologis.

Menurut GHR, perkawinan beda agama dilakukan menurut hukum calon mempelai pria di depan kepala sukunya atau, apabila tidak ada, di hadapan kepala bagian kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan.

Pencatatan perkawinan beda agama

Berlakunya UU Administrasi Kependudukan menjawab kebutuhan akan pencatatan perkawinan beda agama. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil wajib mencatat laporan perkawinan yang sah pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Pencatatan perkawinan juga diwajibkan untuk ”perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan”, yakni perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama. Namun, UU Administrasi Kependudukan tidak menyatakan dengan tegas apakah perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang sah.

Pasca-keberlakuan undang-undang ini, berbagai putusan pengadilan negeri menunjukkan sikap hakim yang berkesimpulan bahwa terdapat kekosongan hukum untuk perkawinan beda agama karena Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tidak mengaturnya. Sebagai pertimbangan hukum untuk memerintahkan pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil menikahkan laki-laki dan perempuan yang berbeda agama, dan pencatatan perkawinan tersebut oleh pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, hakim menggunakan pasal-pasal dari UUD NRI Tahun 1945, GHR, UU Hak Asasi Manusia, dan/atau Konvenan Hak Sipil dan Politik PBB Tahun 1966.

Praktik ini menunjukkan bahwa hukum perkawinan di Indonesia juga tidak terbatas pada UU Perkawinan dan hukum agama, melainkan juga GHR dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Dengan demikian, pendapat bahwa UU Perkawinan merupakan unifikasi hukum perkawinan di Indonesia sulit untuk diterima karena tidak sesuai dengan kenyataan yuridis dan praktik peradilan.

Jika hanya UU Perkawinan yang merupakan hukum positif tentang perkawinan di Indonesia, maka keresahan pemohon bahwa Pasal 2 Ayat (1) bertentangan dengan konstitusi dapat diterima, sebab ia hanya mengakui perkawinan monoreligi. Namun, karena ada hukum positif lain yang mengatur tentang perkawinan beda agama, maka hak konstitusional pemohon tidak pernah terlanggar karena terakomodasi antara lain oleh GHR.

Yu Un Oppusunggu, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Mata Kuliah Utama Hukum Antartata Hukum

Sumber: https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/02/27/menilik-uji-materi-undang-undang-perkawinan

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI