"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Belum Ada Pedoman, Eksekusi Sanksi Kebiri Dinilai Ahli Lebih Luwes

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Belum Ada Pedoman, Eksekusi Sanksi Kebiri Dinilai Ahli Lebih Luwes

Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto belum lama ini menjadi yang pertama menjatuhkan pidana tambahan berupa sanksi kebiri kimia. Vonis ini membuka kembali polemik soal eksekusi jenis hukuman kebiri kimia sejak pengesahannya dalam perubahan kedua UU No.23 Tahun 2002 jo. UU No.35 Tahun 2014 jo. UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak).

Diskusi internal Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Kamis (6/9), mencatat bahwa isu utama dari polemik ini masih sama. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), menolak berperan sebagai eksekutor. Pada saat yang sama, masih belum ada peraturan pelaksana untuk memandu teknis eksekusi sanksi kebiri kimia.

Pasal 81 UU Perlindungan Anak saat ini hanya mengatur kebiri kimia sebagai pilihan pidana tambahan. Disebutkan pula sanksi kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. Pelaksanaannya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah yang belum kunjung terbit setelah tiga tahun norma ini ditetapkan.

Ahli hukum pidana FHUI, Gandjar Laksmana Bonaprapta justru menilai ada keleluasaan untuk melaksanakan sanksi kebiri tersebut. Peraturan Pemerintah yang belum terbit sebagai pedoman pelaksanaan tidak menjadi halangan. “Eksekutor silakan pikirkan caranya selama peraturan pelaksananya belum ada, justru lebih luwes,” ujar Gandjar.

Ia mengatakan bahwa perdebatan publik akan selalu ada untuk setiap produk hukum apa saja. Gandjar merujuk polemik soal hukuman mati yang terus ada sejak ratusan tahun sanksi tersebut dilaksanakan berdasarkan hukum pidana di seluruh dunia. “Penegak hukum silakan menghitung sendiri, kan sudah tahu rambu-rambunya, masak undang-undang yang lebih tinggi harus menunggu peraturan pelaksana,” ia menambahkan.

Merujuk vonis yang dijatuhkan PN Mojokerto, Gandjar mengingatkan bahwa ada pidana pokok 12 tahun penjara. Artinya terpidana baru akan dikebiri kimia setelah menjalani masa tahanan 12 tahun. “12 tahun itu waktu yang sangat cukup untuk kita menyusun peraturan pelaksana,” katanya.

Baginya tidak ada alasan bagi pihak mana saja untuk menolak vonis hakim yang sudah berlandaskan undang-undang. “Pelaksanaan undang-undang dan putusan pengadilan tidak bergantung pada peraturan pelaksana,” Gandjar menambahkan.

Bagi Gandjar, polemik yang dimunculkan kembali menjadi tidak produktif karena sanksi kebiri sendiri sudah sah dalam hukum pidana Indonesia. Justru momen putusan ini harus mendorong penegak hukum dan pemerintah segera menyelesaikan pedoman pelaksanaan yang dibutuhkan. “Bisa saja besok ada vonis hakim yang menjatuhkan sanksi kebiri untuk pidana pokok penjara yang hanya 1 tahun. Tetap harus segera disiapkan,” kata Gandjar.

Ia setuju bahwa peran dokter tidak bisa ditiadakan dalam pelaksanaan sanksi kebiri. Kesepakatan dengan kalangan dokter dinilai Gandjar harus segera dicapai untuk menghasilkan cara pelaksanaan sanksi kebiri secara tepat.

Agus Purwadianto, Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyampaikan beberapa usulannya untuk mengubah sikap IDI. “Dokter dilibatkan mulai dari perencanaan hingga observasi pasca eksekusi, jangan hanya jadi eksekutor,” katanya saat diminta konfirmasi oleh Hukumonline usai diskusi.

Agus memaparkan bahwa tindakan kebiri kimia adalah tindakan medis. Oleh karena itu perlu ada perlakuan yang mengikuti prosedur medis dalam pelaksanaan sanksi kebiri. Dokter tidak bisa hanya sekadar menjadi pelaksana pengebirian seperti regu tembak saat menjadi algojo eksekusi hukuman mati.

Ia mengatakan bahwa ada prosedur yang biasanya dilakukan kepada pasien juga harus diberikan kepada terpidana yang akan dijatuhi sanksi kebiri kimia. Apalagi Agus menemukan sejumlah studi yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri di negara lainnya dilakukan pada pelaku kejahatan seksual kategori tertentu.

Studi tersebut menunjukkan hanya pelaku kejahatan seksual dengan motivasi seksual parafilia yang akan dijatuhi sanksi kebiri kimia. Kondisi parafilia adalah berbuat kejahatan karena motivasi kuat dari fantasi seksual. Misalnya pelaku pedofilia, masokis, fetis, ekshibisionis serta bentuk parafilia lainnya.

Sayangnya tidak ada kejelasan soal teknis penjatuhan sanksi kebiri kimia mulai dari tuntutan dari jaksa hingga vonis oleh hakim.  Hingga saat ini masih belum ada peraturan pelaksana untuk memandu teknis eksekusi sanksi kebiri kimia. IDI masih menolak terlibat dalam penjatuhan sanksi kebiri kimia atas dasar larangan kode etik profesi kedokteran.

Sebagai dokter yang juga sarjana hukum, Agus menilai ada persoalan serius yang harus dituntaskan kalangan dokter bekerja sama dengan ahli hukum berkaitan sanksi kebiri ini. Ia mengakui munculnya norma hukum berupa sanksi kebiri telah melalui sejumlah pertimbangan sosiologis dan yuridis. Faktanya pun sudah ada norma hukum yang mengikat soal kebiri kimia.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d720f55f0250/belum-ada-pedoman–eksekusi-sanksi-kebiri-dinilai-ahli-lebih-luwes/

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI