"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Oleh Heru Susetyo, S.H, L.L.M, M.Si, Ph.D.

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Oleh Heru Susetyo, S.H, L.L.M, M.Si, Ph.D.

Dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia dan Thailand, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang terdata (karena tidak semua terdata) di Indonesia tidaklah banyak. Per 31 Januari 2022 ada 96.401 pengungsi di Thailand (UNHCR Thailand, 2021), di mana sebagian besarnya berasal dari Myanmar (etnis minoritas Karen dan Karenni). Di Malaysia, per akhir Desember 2021 terdapat 180.440 pengungsi dan pencari suaka. Kelompok terbesar, 155.400 orang berasal dari Myanmar, mayoritasnya etnis Rohingya (UNHCR, 2022).

Di Indonesia sendiri, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tercatat adalah berkisar 13.700 jiwa (Reliefweb.int, 2022) di mana 7600 di antaranya berasal dari Afghanistan (etnis minoritas Hazara), selebihnya berasal dari Somalia, Irak, Myanmar, Sudah, Sri Lanka, Yaman, Palestina, Iran, Pakistan, Eritrea dan Ethiopia.

Ada beberapa cara pengungsi dan pencari suaka masuk ke wilayah Indonesia. Ada yang berangkat dengan pesawat dengan paspor dan visa kunjungan (turis) namun terus tinggal di Indonesia tanpa ingin kembali ke negara asal. Mereka berharap mendapatkan penempatan (resettlement) di negara ketiga sebagai pengungsi.

Ada yang menjadi korban perdagangan orang (human trafficking) dan penyelundupan manusia (people smuggling). Ada juga yang masuk ke Indonesia dengan jalur laut lewat pintu masuk tidak resmi. Kelompok ini ada yang datang dari Malaysia kemudian berlabuh di pantai timur Sumatera. Ada pula yang menjadi manusia perahu (Boat People) biasanya dari Bangladesh atau Myanmar, kemudian melayari Laut Andaman dan Selat Malaka hingga akhirnya terdampar di Pantai Utara atau Pantai Timur Pulau Sumatera (Aceh atau Sumatera Utara).

Gelombang awal pengungsi yang tercatat dalam sejarah Indonesia adalah pengungsi Vietnam-Cambodia yang mengalir sejak tahun 1970-an dan kemudian ditampung khusus di Pulau Galang, kini bagian dari Kepulauan Riau. Setelah itu sejak awal 2000-an, terjadi gelombang masuk pengungsi ke Indonesia dari Asia Selatan, Asia Tengah, dan Afrika seperti dari Afghanistan, Iran, Irak, Sudan, Somalia, Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar (Rohingya).

Satu insiden menarik adalah pada Agustus 2001 yang disebut sebagai Tampa Affair. Di mana ketika itu rombongan boat people yang berangkat dari pantai selatan Jawa Barat menuju Pulau Christmas Australia sejumlah 433 orang (mayoritas etnis Hazara dari Afghanistan) terkatung-katung di laut kemudian mereka diselamatkan oleh Kapal MV Tampa berbendera Norwegia.

Kapal ini kemudian meminta izin mendaratkan para pencari suaka tersebut ke Pulau Christmas. Namun kemudian ditolak mendarat di pulau tersebut oleh otoritas Australia. Peristiwa ini menimbulkan ketegangan politik antara Australia, Norwegia dan juga Indonesia. Pada akhirnya alih-alih dibolehkan berlabuh ke Australia, para pencari suaka tersebut kemudian dikirimkan ke Nauru untuk diproses melalui pendekatan yang disebut sebagai ‘pacific solution.’

Kendati dari sisi jumlah tidak bisa dibilang banyak, namun keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia tetap membingungkan. Karena minimnya acuan hukum yang kuat dan komprehensif untuk dapat dijadikan pedoman dalam mengelola mengatur dan melindungi keberadaan pengungsi di Indonesia.

Indonesia juga belum meratifikasi (state party) 1951 Convention Relating to the Status of Refugees berikut Protokol 1967-nya. Bahkan, di Asia Tenggara, baru Cambodia, Philippines dan Timor Leste yang sudah meratifikasi Konvensi tersebut beserta Protokol-nya.

Sampai saat ini, instrumen hukum yang tersedia dan mengatur secara terbatas tentang pengungsi/pencari suaka adalah Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dan beberapa peraturan penunjang yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Keimigrasian.

Bagi para pengungsi sendiri, tidak adanya regulasi yang kuat membuat mereka secara efektif berstatus sebagai terdampar atau terkatung-katung di Indonesia. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengakhiri ketidakpastian status mereka. Untuk kembali ke negara asal (repatriasi) adalah tidak mungkin. Untuk mendapatkan pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement) adalah kecil peluangnya. Lalu untuk bertahan hidup selamanya di Indonesia (reintegration) adalah bukan pilihan yang baik juga. Mengingat Indonesia-pun bukan negara maju dan banyak rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Di tengah ‘kekosongan hukum’ ini, praktik penanganan pengungsi di Indonesia terjadi secara bervariasi dan tidak memiliki pola yang sama. Misalnya apabila pengungsi/pencari suaka (boat people) masuk ke perairan Aceh atau Sumatera Utara. Ada kalanya mereka boleh masuk perairan Indonesia, dan ada kalanya diusir oleh aparat. Lalu, nelayan dan masyarakat setempat juga lazimnya akan menolong mereka untuk mendarat dan adakalanya aparat negara akan membiarkan mereka melakukannya. Tapi juga ada saat-saat aparat membatasi aktivitas tersebut.

Riset dari Maratul Fitria dan Heru Susetyo (2019) terhadap penampungan pengungsi di Medan dan Makassar, menunjukkan bahwa penanganan terhadap pengungsi juga berbeda-beda. Ada pengungsi yang tinggal di penampungan sementara (community house) dengan penjagaan ketat dan ada pula yang penjagaannya tidak ketat. Bahkan bebas keluar masuk. Di sekitar Tangerang Selatan dan Cisarua – Bogor bahkan pengungsi bebas tinggal di manapun tanpa kontrol aparat. Mereka juga tidak tinggal di shelter atau community house, melainkan tinggal di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bergaul bebas dengan masyarakat setempat.

Sama halnya dengan Pendidikan anak-anak pengungsi. Di Community House Medan, pengungsi anak tetap dapat sekolah di sekolah negeri setempat, walaupun tak mendapat ijazah. Sebaliknya, di tempat lain akses untuk dapat sekolah bagi anak-anak pengungsi adalah amat sulit. Tak heran, di Cisarua maupun di Jakarta ada inisiatif untuk menyelenggarakan sekolah untuk anak-anak pengungsi yang diselenggarakan oleh internal para pengungsi sendiri dan untuk anak-anak mereka sendiri.

Siapa yang Harus Menangani Pengungsi?

Ketiadaan kerangka hukum yang komprehensif menimbulkan kebingungan tentang siapa yang sebetulnya bertanggung jawab atas penanganan pengungsi di Indonesia. Pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Apabila pemerintah pusat, instansi yang mana? Lalu anggaran apa yang tersedia dan dapat digunakan?

Pemandangan pengungsi (kebanyakan dari Afghanistan) yang melakukan aksi massa di beberapa kota di Indonesia menuntut kepastian status mereka, terus terjadi. Hampir semua frustasi dan depresi karena terlalu lama berada di Indonesia tanpa kepastian.

Sebagai contoh adalah di Jakarta. Sejak Maret 2018, banyak pengungsi yang tertahan di Jakarta hingga menduduki trotoar sekitar jalan Kebon Sirih. Kebingungan terjadi. Penanganan mereka menjadi tanggungjawab pemerintah pusat atau Pemda DKI. Ke mana Pemda dapat menampung dan bagaimana urusan logistiknya?

Kendala lain adalah tantangan sosial dan budaya. Masih banyak masyarakat Indonesia, termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta, yang belum memahami bahwa pengungsi dan pencari suaka berbeda dengan migran ekonomi. Penduduk setempat adakalanya menolak dan iri karena pengungsi menerima jatah hidup bulanan dari lembaga internasional. Padahal, penduduk setempat sendiri terkadang sangat miskin.

Di sisi lain, para pengungsi dan pencari suaka tersebut tidak dapat dipulangkan secara paksa ketika mereka menghadapi risiko nyata penganiayaan, penyiksaan (persecution) atau bahaya serius lainnya di negerinya. Ada Prinsip non-refoulement dalam hukum pengungsi internasional. Suatu prinsip yang merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan mengikat semua negara, terlepas dari apakah mereka merupakan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951 atau Protokol 1967-nya.

Perlunya Menyikapi Kekosongan Hukum

Tidak ada perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang pengungsi atau pencari suaka secara komprehensif. Sebelum lahirnya Perpres No. 125/2016 ihwal pengungsi hanya disinggung sedikit dalam UU No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Bahkan, kata-kata ‘pengungsi’ dan ‘pencari suaka’ tidak muncul dalam UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Pada tahun 2010, Direktur Jenderal Imigrasi mengeluarkan Peraturan No. IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 yang isinya kurang lebih bahwa Imigran ilegal saat diketahui berada di Indonesia dikenakan Tindakan Keimigrasian. Lalu dalam hal imigran ilegal, menyatakan keinginan untuk mencari suaka dan/atau karena alasan tertentu tidak dapat dikenakan pendeportasian, maka dikoordinasikan dengan organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi dan/atau UNHCR untuk penentuan statusnya.

Kemudian Pasal 3 dari peraturan di atas menyebutkan bahwa (1) Imigran ilegal dapat tidak dipermasalahkan status izin tinggalnya selama berada di Indonesia dalam hal: a. telah memperoleh Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagai pencari suaka dari UNHCR; atau b. berstatus sebagai pengungsi dari UNHCR. (2) Imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditempatkan di tempat tertentu dengan fasilitasi organisasi internasional yang menangani masalah pengungsi atau UNHCR dan wajib dilaporkan keberadaannya oleh UNHCR kepada Direktur Jenderal Imigrasi.

Selanjutnya pada tahun 2016, Dirjen Imigrasi mengeluarkan Peraturan No. IMI-0352.GR.02.07 Tahun 2016 tentang Penanganan Migran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi. Di mana antara lain menyatakan bahwa Pencari suaka dan Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia ditempatkan di Ruang Detensi Imigrasi, Rumah Detensi Imigrasi atau tempat lain. Kemudian, ketentuan tentang “Pencari suaka dan Pengungsi dapat ditempatkan di tempat lain adalah dalam hal: a. Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi telah melebihi daya tampung; b. Sakit dan memerlukan perawatan; c. Akan melahirkan; d. Anak-anak.

Peraturan Dirjen Imigrasi tahun 2016 ini menggunakan istilah imigran ilegal untuk kelompok seperti pengungsi dan pencari suaka. Peraturan tersebut sejatinya menegaskan bahwa orang asing yang masuk ke Indonesia tanpa dokumen perjalanan resmi dikategorikan sebagai imigran ilegal. Di mana terhadap mereka dapat dikenakan tindakan keimigrasian berupa detensi maupun deportasi. Lalu, kepada orang asing yang mengaku sebagai pengungsi dilakukan pengecekan imigrasi melalui kantor proses pendataan dan orang asing tersebut data oleh pihak UNHCR. Selama penentuan status, ditempatkan dalam rumah detensi atau fasilitas lain yang disepakati antara pihak imigrasi dengan UNHCR sebagai penentu status (Yulianto, 2020).

Lahirnya Perpres No. 125 tahun 2016 yang ditandatangani pada 31 Desember 2016 dalam rangka melaksanakan amanat dari Undang-undang RI Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri seolah menjadi alternatif di tengah kekosongan regulasi tentang pengungsi dan pencari suaka. Yang menarik, peraturan ini mengadopsi sebagian dari definisi pengungsi sebagaimana dimuat di dalam Konvensi tahun 1951 dan Protokol 1967 tentang pengungsi.

Perpres ini juga melibatkan instansi lain dari lembaga negara untuk menangani keberadaan pengungsi luar negeri di Indonesia seperti TNI, Kepolisian, Kementerian Perhubungan, Bakamla (Badan Keamanan Laut), Pemerintah daerah, BASARNAS (Badan Search And Rescue Nasional, atau Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan), dan lembaga lainnya yang mempunyai kompetensi dalam menangani pengungsi asing (Yulianto, 2020).

Penjelasan mengenai teknis pertolongan pengungsi di wilayah batas-batas negara, pemindahan, penempatan, penyediaan fasilitas selama di penampungan juga dijelaskan. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 mengakui kebutuhan khusus yang diperlukan oleh kelompok pengungsi rentan seperti orang sakit, wanita hamil, penyandang disabilitas, anak-anak, dan orang lanjut usia.

Perpres ini bagaimanapun juga telah memberikan kepastian hukum walau secara parsial tentang proses penanganan pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, termasuk mekanisme penampungan sementara dan tanggung jawab berbagai aktor. Namun, itu saja tidak cukup.

Penutup

Indonesia belum memiliki kerangka hukum yang komprehensif untuk penanganan pencari suaka dan pengungsi. Meski Perpres 125 Tahun 2016 telah memberikan kejelasan tentang perlakuannya, namun belum cukup memberikan kepastian hukum atau kekuatan hukum.

Tidak ada badan nasional yang bertanggung jawab penuh untuk menangani pengungsi, Lalu, pemerintah daerah merasa kesulitan untuk menangani pencari suaka dan pengungsi yang terdampar di daerah mereka. Badan-badan internasional, seperti UNHCR dan IOM, juga memiliki mandat dan anggaran yang terbatas.

Maka itu, Indonesia membutuhkan kebijakan dan mekanisme yang kuat dan komprehensif untuk melindungi pencari suaka dan pengungsi, terutama karena diprediksi masih lebih banyak lagi yang akan datang di masa depan. Karena posisi strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan batas laut yang amat luas dan terbuka, yang berada di jalur transit menuju Australia.

Barangkali meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 adalah salah satu pilihan menarik. Atau lahirkanlah kerangka hukum lain setingkat UU yang bersifat lebih komprehensif. Di luar urusan keamanan nasional dan kedaulatan negara, para pengungsi dan pencari suaka adalah juga manusia yang memiliki Hak Asasi Manusia.

*)Heru Susetyo adalah Peneliti Masalah Pengungsi dan Associate Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/urgensi-penanganan-pengungsi-dan-pencari-suaka-di-indonesia-lt621edab5abc5c/?page=5

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI