"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Topo Santoso (Media Indonesia): Menyoal Hukuman Mati

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > Topo Santoso (Media Indonesia): Menyoal Hukuman Mati

Menyoal Hukuman Mati

MATA dunia tertuju pada pelaksanaan hukuman mati atas empat terpidana di Indonesia. Dari 14 narapidana yang akan dihukum mati, 4 sudah menjalaninya, yaitu Freddy Budiman (WNI) dan tiga warga negara asing. Sementara itu, eksekusi 10 narapidana ditunda karena alasan tertentu. Atas pelaksanaan itu, PBB, Amnesti Internasional, Uni Eropa, Komnas HAM, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat bereaksi kritis. Mengapa Indonesia masih melaksanakan hukuman mati yang dipandang bertentangan dengan hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup itu?

Tren dunia atas hukuman mati

Tiongkok, Arab Saudi, Iran, Amerika Serikat, dan Indonesia ialah sebagian negara yang masih melaksanakan hukuman mati, baik dalam hukum maupun dalam praktik. Tiongkok merupakan negara paling disorot karena jumlah hukuman mati yang sangat banyak. Diperkirakan sekitar 60% hukuman mati di dunia ini dilakukan di sana yang jumlahnya mencapai ribuan.

Ratusan orang telah menjalani pidana mati di Amerika Serikat dan Arab Saudi. Di Indonesia, sudah puluhan orang menjalani pidana selama beberapa tahun terakhir, khususnya untuk kasus narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana. Sebenarnya ada ancaman pidana mati juga untuk korupsi, tetapi belum ada yang dihukum mati untuk kasus ini. Sampai kapan hukuman mati akan hapus dari dunia ini? Belum jelas sampai kapan. Namun, tren dunia atas hukuman mati kian menurun.

Pada 1948 ketika lahir Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) atau Duham, negara yang menghapus (abolisi) hukuman mati hanya sekitar 6 atau 7. Kini sudah 70% negara di dunia yang menghapus hukuman mati dalam hukum mereka atau melakukan moratorium (tidak melaksanakannya). Sebagian negara pernah menghidupkannya kembali, tetapi segera menghapusnya, seperti Filipina. Namun, sangat jarang negara yang pernah menghapus, kemudian melaksanakan kembali.

Sementara itu, negara yang masih memiliki dan melaksanakan hukuman mati makin menurun dengan rata-rata tiga negara menghapusnya tiap tahun. Seluruh negara Uni Eropa telah menghapusnya, termasuk Belanda yang KUHP-nya kita warisi. Begitu juga Australia, Kanada, dan sebagian besar wilayah di Asia dan Amerika. Amat mungkin tren itu akan berlangsung terus, mengingat sebagian negara juga mempersyaratkan tidak boleh ada hukuman mati untuk perjanjian regional maupun ekstradisi atau kerja sama dalam penanggulangan korupsi dan sebagainya. Seperti contoh, Turki selama ini terganjal, antara lain, karena adanya hukuman mati yang ditolak Uni Eropa.

Debat tiada ujung

Dalam soal hukum mati, meski banyak pihak yang menentangnya, masih banyak pula yang mendukungnya. Pro dan kontra selalu muncul. Tiap kali ada pelaksanaan hukuman mati, tiap kali pula terjadi perdebatan. Argumen menolak/menghapus hukuman mati (abolisionis) biasa berkisar pada argumen moral/agama, yakni hanya Tuhan yang menghidupkan manusia dan hanya Dia yang berhak mencabutnya.

Ada juga argumen rendahnya efektivitas hukuman mati. Argumen lain yang kerap diangkat pihak penolak hukuman mati ialah kenyataan sistem peradilan pidana yang masih lemah dan banyak kekurangan yang sangat mungkin melahirkan korban-korban tidak bersalah yang harus dijatuhi hukuman mati. Argumen penting lain dari penolak hukuman mati ialah hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), khususnya hak untuk hidup. Dalam Duham, hak untuk hidup sudah tegas disebutkan. Hal itu juga sudah tegas dijelaskan dalam UUD 1945 pascaamendemen. Hak untuk hidup dijamin secara konstitusional.

Pihak yang mendukung

Di Indonesia, hukuman mati masih diancamkan untuk sejumlah kejahatan, termasuk pembunuhan berencana, narkoba, dan terorisme. Pada 2007 pernah ada uji materi atas hukuman mati pada UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika beberapa tahun lalu. Sejumlah dalil menolak hukuman mati disampaikan pada uji materi tersebut seperti sebagian telah diulas di atas. Namun, Mahkamah Konstitusi, dengan sejumlah hakim melakukan disenting, menolak uji materi tersebut dan menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi karena UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia. Sejumlah argumen yang sering dikemukakan pihak yang mendukung hukuman mati (retentionist) ialah argumen perlindungan korban, argumen normatif, penanggulangan kejahatan, dan sebagainya.

Pihak pendukung menyatakan hukum jangan hanya berpihak pada hak asasi pelaku kejahatan, tetapi juga hak korban kejahatan. Hak hidup korban yang telah dirampas pelaku (misalnya pada kasus terorisme dan pembunuhan berencana) juga harus diperhatikan. Ketika sejumlah pihak mengecam dan meminta Indonesia menghentikan hukuman mati, sejumlah pihak menolaknya dengan argumen normatif, yakni hukuman mati saat ini masih merupakan hukum positif dan ketika sudah ada terpidana oleh pengadilan dijatuhi hukuman mati, hal itu harus dilaksanakan untuk menjamin kepastian. Bahkan Indonesia juga tidak perlu tunduk ke-pada tekanan negara lain karena harus menegakkan kedaulatan di bidang hukum. Argumen penting lainnya dari pihak yang mendukung hukuman mati ialah untuk penanggulangan kejahatan. Makin seriusnya tingkat kejahatan yang kerap kali dilakukan dengan perbuatan supersadis membuat masyarakat luas masih menganggap hukuman mati tetap diperlukan. Bagaimana jika tidak ada hukuman mati, sementara dengan adanya hukuman mati saja keja-hatan masih banyak?

Mencari jalan tengah

Tidak selesainya debat, pro dan kontra hukuman mati ini tampaknya akan berlangsung terus, baik di dunia akademik, parlemen, pemerintah, penegak hukum, maupun masyarakat luas. Bagaimana politik hukum kita terhadap hukuman mati di tengah pihak yang pro dan kontra yang tiada berkesudahan debatnya? Sebenarnya, sejumlah negara meskipun dalam kerangka hukumnya masih mengakui hukuman mati, dalam kenyataan, mereka tidak lagi menjatuhkannya (moratorium). Hal ini bisa menjadi satu pilihan kita. Saat ini masih ada sejumlah undang-undang yang memuat hukuman mati, tetapi pihak penegak hukum bisa tidak menggunakannya karena hukuman mati selalu diancamkan secara alternatif dan tidak menjadi hukuman tunggal. Jadi, kejaksaan dapat mengambil politik penuntutan untuk tidak menuntut hukuman mati atas terdakwa.

Begitu juga Mahkamah Agung yang dapat membuat kebijakan bagi para hakim di bawahnya untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. Jalan lainnya ialah seperti terdapat pada RUU KUHP yang tengah dibahas di DPR saat ini yang dikenal dengan pendekatan alternatives to death penalty. Jadi, terpidana hukuman mati tidak langsung menjalani hukuman mati, tetapi ada masa tertentu (misalnya 10 tahun), jika terpidana terbukti menunjukkan suatu perbaikan dan memenuhi sejumlah syarat, hukuman berubah menjadi seumur hidup. Pendekatan yang diambil penyusun KUHP juga menjadikan hukuman mati bukanlah hukuman pokok, melainkan hukuman pokok yang bersifat khusus dan bersifat alternatif. Juga dengan banyak syarat untuk penjatuhannya. Apa pun namanya, tujuannya ialah menghindari hukuman mati dijatuhkan. Saya sendiri melihat sangat logis jika masyarakat masih mendukung hukuman mati, apalagi jika kita membaca berita seorang bandar narkoba mengimpor jutaan pil ekstasi atau berkilo-kilo narkotika ke Indonesia yang akan meracuni anak bangsa dan pada gilirannya akan merusak masa depan dan membunuh ratusan, bahkan ribuan generasi muda kita, atau saat kita membaca berita pembantaian satu keluarga, perkosaan, dan pembunuhan sadis pada korbannya. Namun, di sisi lain, kekeliruan dalam proses peradilan kita selalu ada masih mungkin terjadi.

Dalam situasi seperti ini, sebaiknya pihak yang mendukung hukuman mati tidak ber-pandangan bahwa mereka yang menolak hukuman mati ialah pihak yang mendukung pelaku dan tidak mendukung korban serta upaya menanggulangi kejahatan. Baik yang pro maupun kontra sebenarnya menolak kejahatan dan berusaha melindungi korban, tetapi berbeda pendekatan. Apakah kejahatan seperti narkoba, terorisme, dan pembunuhan berencana atau kejahatan lain akan berkurang dengan hukuman mati? Itu masih selalu jadi tanda tanya karena data-data yang kurang meyakinkan. Jadi, pilihannya ialah meningkatkan penanggulangan kejahatan dengan pendekatan penal (penal policy) dan non-penal policy secara bersama-sama, serta meningkatkan profesionalitas, kemampuan penegak hukum, dan kemampuan masyarakat melawan kejahatan. Gunakan hukuman sebijaksana mungkin. Hukuman seumur hidup bisa dijatuhkan, tidak harus menjatuhkan hukuman mati, karena sekali dilaksanakan, apabila ada kesalahan, siapa yang akan menghidupkan mereka lagi?

Topo Santoso

Guru Besar Hukum Pidana  dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Tulisan ini dimuat pada Media Indonesia cetak Senin,  1 Agustus 2016.

 

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI