Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia sedang berada di dalam medan tempur Artificial Intelligence (AI) dunia. Pernyataan yang ia utarakan pada pembukaan rapat kerja Nasional BPPT 8 Maret 2021 ini disertai dengan kewaspadaan bahwa jangan sampai Indonesia hanya menjadi pembeli dari teknologi yang dibuat oleh asing. Yang berarti Indonesia juga harus bisa mengembangkan AI yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakatnya dan dunia.
Efektivitas produksi dari penggunaan AI memang sedang menjadi hal yang popular di seluruh dunia. Telah diperkirakan bahwa setidaknya akan ada 40% peningkatan produksi bagi perusahaan yang akan mengadopsi AI di tahun 2023 (Taarini Kaur Dang, 2019.) Bahkan, beberapa negara telah mengimplementasikan AI hingga 56% dalam sektor industrinya (Kirana R. Ririh dkk, 2020.)
Untuk dapat menerapkan AI secara bermanfaat di Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisal Indonesia 2020-2045. Akan tetapi, tatananya masih tahap haluan kebijakan secara garis besar dan tidak mengatur secara detail.
Padahal, sudah banyak perusahaan yang mengembangkan dan menerapkan teknologi AI dalam proses produksinya di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sektor usaha yang menerapkan AI ini umumnya adalah sektor strategis seperti perbankan (Laucerenom, 2021), e-commerce (Harni, 2019) dan kesehatan (Thereestayanti, 2020).
Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana pengaturan penggunaan AI yang saat ini berlaku di Indonesia? Kemudian, siapa yang bertanggung jawab ketika penggunaan AI menimbulkan kerugian pada sektor-sektor strategis tersebut? Bagaimana perlindungan hukum, hak serta kewajiban antara penyedia AI dan penggunanya?
AI sebagai Agen Elektronik
Karakteristik AI dalam Otomatisasi pengolahan informasi membuatnya dapat disamakan sebagai “Agen Elektronik” didalam peraturan-perundangan Indonesia. Di dalam Pasal 1 UU ITE, “Agen Elektronik” didefinisikan sebagai “perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.”
Kata “otomatis” dalam definisi “Agen Elektronik” tersebut ini kemudian dijadikan jembatan oleh (Pratidina, 2017) untuk mengkonstruksikan AI sebagai “Agen Elektronik.” Jika kita menggunakan konstruksi tesebut, sesungguhnya peraturan yang mengatur mengenai “Agen Elektronik” berlaku juga kepada AI.
Pengaturan Agen Elektronik di Indonesia
Pasal 21 UU ITE menyinggung akan pengaturan agen elektronik pada saat pelaksanaan transaksi elektronik. Dalam UU ITE, penyelenggara agen elektronik pada dasarnya merupakan penyelenggara sistem elektronik. Mengapa? Ini karena sesungguhnya agen elektronik merupakan bentuk dari suatu penyelenggaraan sistem elektronik. Yang berarti, segala hak dan kewajiban penyelenggara sistem elektronik berlaku mutatis mutandis terhadap penyelenggara agen elektronik.
Setiap penyelenggara sistem elektronik harus memastikan sistem yang digunakannya telah diselenggarakan secara aman, andal serta bertanggungjawab. Oleh karena itu, segala akibat hukum yang dilaksanakan melalui agen elektronik, menjadi pertanggungjawaban penyelenggara Agen Elelektronik. Dengan catatan kesalahan atau gagal beroperasinya sistem elektronik tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian pengguna.
Pemahaman kita mungkin sering dikaburkan dengan film-film Science-fiction (Sci-fi) yang menggambarkan suatu AI sangat canggih layaknya manusia yang dapat bertindak sendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah AI dapat bertanggung jawab atas tindakannya sendiri? Bagaimana jika hasil dari “pemikiran” AI menimbulkan kerugian milyaran rupiah? Siapakah yang bertanggung jawab di mata hukum? Apakah AI-nya? Pembuat AI-nya? Ataukah Pengguna?
Jika kita mengikuti konstruksi berpikir bahwa AI adalah Agen Elektronik dan agen elektronik adalah penyelenggara jasa elektronik, maka sesungguhnya pertanyaan itu dapat dijawab.
UU ITE menyatakan bahwa Penyelenggaraan AI (Agen Elektronik) di Indonesia hanya dapat dilakukan oleh orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat. Artinya secara pertanggungjawaban hukum akan ditanggung oleh penyelenggara sistem elektronik yang menyelenggarakan jasa AI.
UU ITE dan PP 71/2019 sebagai turunannya sebenarnya sudah mengatur batasan kewajiban serta pertanggungjawaban penyelenggara Agen Elektronik, di antaranya: menyediakan fitur yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
Tanggung jawab agen elektronik sebenarnya sudah diatur secara komprehensif, termasuk kewajiban untuk merahasiakan data, mengendalikan data pribadi pengguna, menjamin privasi pengguna, menyampaikan informasi terkait sistem yang digunakannya sehingga tidak merugikan pengguna.
Pengaturan Agen sebagai Pedagang Perantara dalam Perspektif Hukum Dagang
Jika dianalisis secara lebih luas lagi, agen elektronik sesungguhnya adalah pedagang perantara yang diberikan kuasa untuk menindaklanjuti suatu informasi elektronik. Yang berarti, AI sebagai Agen elektronik juga dapat dilihat dari konsep umum “Agen” atau “Pedagang perantara” didalam hukum dagang Indonesia.
Prof. Agus Sardjono (2014) dalam buku Pengantar Hukum Dagang menyatakan bahwa konsep “pedagang perantara” didasari oleh perjanjian “lastgeving” atau “perjanjian penyuruhan.” Perjanjian penyuruhan ini sesungguhnya adalah didasari dari persetujuan pemberian kuasa kepada seseorang untuk menyelenggarakan suatu hal atas nama si pemberi kuasa.
Dalam konteks “pedagang perantara”, kata “Agent” sering digunakan sebagai istilah untuk penerima kuasa. Jika kita kaitkan dengan pengertian AI sebagai Agen Elektronik, ini sejalan dengan pengertian agen elektronik, yaitu: adanya seseorang yang diberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis (pasal 1 UU ITE).
Yang berarti, seorang yang menyelenggarakan perangkat sistem elektronik tersebut adalah seorang subjek hukum yang terikat oleh tanggung jawab hukum. Pada hal AI sebagai Agen elektronik, orang yang menyelenggarakan agen elektronik bertindak sebagai penerima kuasa (agen) dari pemilik informasi elektronik (principal) yang secara tidak langsung bersedia informasi elektroniknya diolah oleh sang agen.
Dalam perspektif hukum dagang, hak serta kewajiban agen diatur dalam sumber hukum perjanjian yang mengikat antara agen dengan principal. Walaupun tidak dituliskan secara implisit mengenai tanggung jawab agen dalam KUHPerdata, tetapi agen dapat dipersamakan dengan penerima kuasa yangmana dalam Pasal 1800 KUHPerdata dikatakan bahwa kewajiban untuk seorang agen adalah melaksanakan amanatnya.
“Amanat” ini tentu memiliki penafsiran yang luas, di antaranya: apabila agen lalai dalam menjalankan tugasnya, maka tanggungjawab atas kelalaiannya harus dilaksanakan oleh agen tersebut. Tanggung jawab agen terhadap kelalaiannya timbul setelah agen menandatangani perjanjian penyuruhan yang diberikan oleh principalnya.
Bagaimana Pengaturan Penggunaan AI pada Saat Ini?
Setelah menganalisa karakteristik AI serta definisi Agen Elektronik UU ITE, dapat disimpulkan bahwa AI sesungguhnya masuk di dalam definisi Agen Elektronik. Hal ini berarti segala kewajiban hukum serta pertanggungjawaban hukum Agen Elektronik melekat pada penyedia perangkat AI.
AI adalah sebuah perangkat sistem elektronik untuk mengolah informasi elektronik secara otomatis yang dijalankan sebuah entitas (subjek hukum). Yang berarti, entitas yang menyelenggarakan perangkat elektronik ini memiliki pertanggungjawaban sebagai agen elektronik dan penyelenggara sistem elektronik.
Jika kita tarik secara lebih general dari perspektif hukum dagang, agen elektronik dapat juga dikonstruksikan sebagai pedagang perantara. Agen elektronik adalah pihak yang diberikan kuasa oleh pemilik informasi elektronik untuk melakukan tindakan secara otomatis terhadap informasi elektronik yang dimilikinya. Dengan konstruksi seperti ini, dapat juga disimpulkan bahwa pertanggung jawaban agen elektronik dapat diperluas hingga mencakup tanggung jawab keperdataan.
*)Zahrashafa P. Mahardika, S.H., M.H. & Angga Priancha, S.H., LL.M. adalah Peneliti Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.