"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Kritik atas Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP Oleh Prof. Andri Gunawan Wibisana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Kritik atas Rumusan Pertanggungjawaban Korporasi dalam RKUHP Oleh Prof. Andri Gunawan Wibisana

Saat ini pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP sudah memasuki tahap yang menentukan. Dari draf RKUHP itu ada beberapa ketentuan terkait pertanggungjawaban korporasi yang perlu dikritik.

Ketentuan ini jarang dibahas secara rinci, padahal mengandung persoalan konsepsi yang sangat mungkin akan menimbulkan persoalan dalam pelaksanaannya.

Tulisan ini akan fokus perumusan tindak pidana korporasi dan syarat pertanggungjawaban korporasi yang dirumuskan pada Pasal 46 dan 48 RKUHP.

Pasal 46 mendefinisikan tindak pidana korporasi sebagai ”Tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi Korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama”.

Sementara Pasal 48 menyatakan syarat pertanggungjawaban korporasi, yaitu bahwa tindak pidana dilakukan dalam lingkup kerja korporasi, menguntungkan korporasi, dan telah diterima sebagai kebijakan korporasi.

Definisi di atas, menurut penulis, mengabaikan satu model pertanggungjawaban yang sangat penting, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi (corporate fault). Untuk itu, rumusan RKUHP tentang pertanggungjawaban korporasi sangat perlu diubah.

Untuk itu, rumusan RKUHP tentang pertanggungjawaban korporasi sangat perlu diubah.

Kritik atas pertanggungjawaban derivatif

Secara teoretis, frasa ”dilakukan oleh pengurus…” pada Pasal 46 menunjukkan bahwa pertanggungjawaban yang dianut adalah berdasarkan teori identifikasi. Sementara frasa ”orang yang berdasarkan hubungan kerja…” pada pasal yang sama menunjukkan apa yang disebut pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability).

Teori identifikasi didasarkan pada pandangan antropomorfik, yang menyamakan korporasi dengan tubuh manusia. Korporasi dianggap hanya dapat bertindak karena ada pikiran yang menggerakkan (the directing mind), yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki posisi tinggi di dalam korporasi, yaitu pengurus.

Karena itu, menurut teori ini, korporasi bertanggung jawab apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus, ”pemilik” pikiran dari korporasi. Sementara itu, berdasarkan pertanggungjawaban pengganti, korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana dari orang-orang yang berada di bawahnya.

Kedua model pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban derivatif karena merupakan turunan dari tindak pidana yang dilakukan manusia, yaitu pengurus pada teori identifikasi dan pegawai pada pertanggungjawaban pengganti.

Jika tindak pidana oleh manusia ini sudah ditemukan, agar korporasi bertanggung jawab, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu tindak pidana dilakukan dalam lingkup kerja korporasi dan untuk kepentingan (menguntungkan) korporasi (Gobert, 2008).

Pertanggungjawaban derivatif ini banyak mendapat kritik. Pertama, pertanggungjawaban derivatif akan fokus hanya perbuatan manusia, tanpa melihat apa yang dilakukan korporasi.

Akibatnya, korporasi dapat bertanggung jawab atas perbuatan seorang anggotanya meskipun korporasi telah menerapkan sistem yang layak untuk pencegahan tindak pidana. Hal ini berarti pertanggungjawaban derivatif akan menghasilkan pertanggungjawaban yang terlalu luas (overinclusive).

Kedua, dengan sifatnya yang terlalu luas ini, pertanggungjawaban derivatif akan menghilangkan insentif bagi korporasi untuk menerapkan sistem penaatan yang baik karena sistem ini tak akan melepaskannya dari pertanggungjawaban.

Semakin besar perusahaan, semakin sulit menelusuri kesalahan dari orang-orang tertentu.

Pertanggungjawaban derivatif mengabaikan realitas korporasi modern, yakni keputusan untuk melakukan perbuatan, termasuk perbuatan yang dilarang, lebih merupakan hasil dari kebijakan atau budaya di dalam korporasi ketimbang hasil keputusan atau kesalahan orang-orang tertentu. Semakin besar perusahaan, semakin sulit menelusuri kesalahan dari orang-orang tertentu. Ini membawa pada kritik selanjutnya.

Ketiga, dengan sulitnya ditemukan orang-perseorangan yang menjadi pelaku tindak pidana, korporasi besar akan lebih mudah lepas dari pertanggungjawaban meskipun telah terjadi bahaya dari kegiatan korporasi dan korporasi ini tidak memiliki sistem penaatan yang baik.

Hal ini yang menyebabkan pertanggungjawaban derivatif melahirkan sistem pertanggungjawaban yang bukan saja tidak adil, tetapi juga terlalu sempit (underinclusive).

Singkatnya, pertanggungjawaban derivatif dapat menghasilkan keadaan di mana korporasi bertanggung jawab ketika ia telah melakukan upaya penaatan, tetapi akan melepaskan korporasi dari pertanggungjawaban ketika ia layak untuk dipidana. Pertanggungjawaban ini, karena itu, gagal mencapai tujuan pemidanaan, baik itu tujuan retributif, penjeraan, maupun rehabilitatif.

Solusi yang diabaikan

Jawaban atas beberapa kekurangan pertanggungjawaban derivatif adalah pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan korporasi itu sendiri (corporate fault). Criminal Code Act Australia adalah contoh baik bagaimana model pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi diadopsi di dalam sebuah undang-undang.

Beberapa teori untuk menjelaskan model pertanggungjawaban ini meliputi: a) corporate policy (korporasi bersalah karena memiliki kebijakan tertulis atau tidak tertulis yang memerintahkan, mendorong, menoleransi, atau mengizinkan dilakukannya tindak pidana); b) corporate culture (korporasi bersalah karena adanya budaya di dalam korporasi yang mengarahkan, mendorong, atau memberikan toleransi tindak pidana, atau korporasi dianggap gagal membangun budaya yang mendorong adanya penaatan).

Kemudian; c) corporate ethos (korporasi bersalah ketika terdapat kebijakan melanggar hukum dan kebijakan tersebut dijalankan oleh individu, atau ketika korporasi atau pejabatnya memberikan persetujuan, perintah, atau dukungan terhadap pelanggaran yang terjadi).

Lalu, d) preventive fault (korporasi bersalah ketika dianggap gagal untuk memasukkan atau menerapkan sistem internal yang layak untuk mencegah dilakukannya tindak pidana atau gagal mengambil langkah yang layak untuk mencegah atau mendeteksi adanya tindak pidana). Selain itu, e) reactive fault (kesalahan korporasi muncul apabila korporasi dianggap gagal untuk mengambil tindakan korektif atau respons yang layak sebagai reaksi atas tindak pidana yang dilakukan personel korporasi).

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi lebih mampu menggambarkan realitas korporasi.

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi lebih mampu menggambarkan realitas korporasi. Model ini akan mampu menghindari persoalan penerapan yang terlalu luas dan terlalu sempit dari pertanggungjawaban korporasi.

Selain itu, pertanggungjawaban ini juga dapat menggambarkan kesalahan korporasi secara langsung sehingga memiliki landasan normatif yang lebih kuat dan mampu memenuhi tujuan pemidanaan dibandingkan dengan pertanggungjawaban derivatif.

Teori-teori terkait pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi sudah sangat dikenal di Indonesia. Teori ini juga sudah dijelaskan oleh perumus RKUHP di buku teks mereka (misalnya Hiariej, 2016). Sayangnya, model pertanggungjawaban yang penting ini justru diabaikan RKUHP.

Praktik dalam kasus lingkungan

Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi sebenarnya secara implisit telah diterapkan oleh pengadilan Indonesia. Dalam beberapa kasus kebakaran hutan dan lahan, korporasi bersalah karena pada satu sisi dianggap gagal memiliki sistem pendeteksian, pencegahan, dan penanggulangan kebakaran yang layak; sedangkan pada sisi lain gagal memiliki sistem pengawasan dan pencegahan pelanggaran yang baik.

Pada kasus-kasus tersebut, tak ada pembuktian terhadap orang-perseorangan yang dianggap melakukan pelanggaran atau pembakaran. Cara yang sama juga diterapkan pengadilan ketika memutus korporasi bersalah atas pembuangan limbah secara ilegal.

Apabila RKUHP disetujui seperti versi Juli 2022, praktik di atas akan berhenti.

Hal ini tentu akan menyulitkan penegakan hukum lingkungan. Pencemaran/kerusakan lingkungan, seperti kebakaran hutan dan lahan, sering kali lahir sebagai produk dari sistem yang ada dalam korporasi ketimbang sebagai hasil dari tindakan individu.

Akan sangat sulit bagi penegak hukum untuk menelusuri dan membuktikan bahwa kebakaran adalah akibat dari perbuatan atau keputusan satu-dua orang di dalam korporasi. Kesulitan ini akan semakin nyata apabila kebakaran terjadi pada lahan konsesi yang sangat luas dari korporasi besar dengan struktur yang kompleks.

Dalam kondisi ini, memaksa agar pertanggungjawaban kor- porasi bersumber dari tindakan satu-dua orang tertentu di dalam korporasi sama saja dengan membuat pertanggungjawaban korporasi tidak akan pernah terlaksana.

Pertanggungjawaban derivatif dianggap wujud modern dari frankpledge, sebuah praktik kuno yang menghukum semua anggota kelompok ketika satu anggota kelompok melakukan kejahatan (Alschuler, 2009).

Sebuah cara berpikir yang mirip dengan lirik dalam lagu Celeng Dhegleng: lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh. Logika lengji lengbeh mungkin menarik untuk sebuah lagu, tetapi akan menghasilkan nada yang sangat sumbang jika diterapkan pada sistem pemidanaan.

Pertanggungjawaban korporasi perlu didasarkan pada pemahaman bahwa korporasi memiliki kapasitas dan karakternya sendiri. Dengan kapasitasnya, korporasi mampu melakukan perbuatan. Di sisi lain, kepribadian dan identitas seorang pegawai akan ia ditanggalkan begitu memasuki gerbang perusahaan. Yang ada tinggallah karakter dari korporasi. Dengan karakter ini, korporasi dapat memikul pertanggungjawaban.

Penyusunan RKUHP merupakan saat tepat untuk secara eksplisit mengadopsi model pertanggungjawaban tersebut.

Andri Gunawan Wibisana Guru Besar Hukum Lingkungan dan Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice FHUI

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/10/19/kritik-atas-rumusan-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-rkuhpstatus=sukses_login&status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2022%2F10%2F19%2Fkritik-atas-rumusan-pertanggungjawaban-korporasi-dalam-rkuhp&status_login=login

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI