Lebih Serius Melawan Perkosaan
Tiga perkosaan dengan pelaku massal terjadi di paruh awal 2016. Satu di Rejang-Lebong Bengkulu pada April 2016 dengan korban Yn (14) dan Manado, Januari 2016 dengan korban F. Satu lagi di Tangerang, dengan korban EP. Tak sekadar diperkosa oleh 14 orang di Rejang Lebong, Yn kemudian diikat dan dibuang ke jurang sampai meninggal.
Di Tangerang, korban EP sama nasibnya. Setelah diperkosa tiga orang lalu dibunuh secara amat sadis. Sementara, F di Manado, tidak sampai dibunuh, namun diperkosa dan dianiaya 15 orang. Tragisnya, di antara para tersangka berusia di bawah 18 tahun.
Kasus Rejang Lebong, Tangerang dan Manado hanya mewakili segelintir kasus perkosaan dan kekerasan seksual nasional. Tidak semua kasus perkosaan menyeruak ke permukaan. Sedang yang muncul ke permukaan tidak seluruhnya mendapat perhatian publik.
Ada kesamaan dari ketiga kasus tersebut. Perlu waktu sebulan sejak Yn ditemukan tewas hingga menjadi perhatian publik. Sedang bagi F di Manado perlu empat bulan. Gadis Manado berinisial Siv itu berusia 19, nasibnya sama dengan Yuyun, diperkosa belasan orang. Meski selamat, trauma berat pasti dialami korban.
Laporan ke polisi empat bulan sebelumnya, hanya dianggap peristiwa biasa, bukan perkosaan. Mungkin saja polisi enggan memeriksa dan mendalami kasus Siv ini karena diduga, dua oknum polisi Gorontalo, tempat kejadian perkara, terlibat (Perspektif, Koran Jakarta 11-05-2016).
Akan halnya, dalam kasus EP di Tangerang, kendati kejahatannya berlangsung amat sadis, reaksi publik hanyalah sesaat. Marah secara kolektif, lalu lupa pula secara bersama. Bandingkan dengan di India. Satu kasus perkosaan (gang rape) terjadi di New Delhi pada 16 Desember 2012 yang dilakukan enam pria. Korban meninggal dunia di Singapore pada 29 Desember 2012. Seluruh India berduka dan murka. Peringatan tahun baru 2013 diputuskan untuk diselenggarakan secara sederhana karena India tengah berkabung. Luar biasa negeri itu.
Di Indonesia, sebaliknya, kasus perkosaan seringkali ditanggapi secara tidak serius karena dianggap sebagai peristiwa sehari-hari dan kejahatan biasa. Ketika tahun 2012 ada anak usia 11 tahun diperkosa di Makassar, publik tidak terlalu bereaksi dan media massa juga tidak banyak memberitakan.
Reaksi masif terhadap perkosaan India tadi menarik dicermati mengingat, perkosaan merupakan kejahatan yang tidak sedikit. Setiap 22 menit terjadi satu kali perkosaan di India.
Setelah kasus ‘gang rape’ 16 Desember 2012 di New Delhi tersebut kemarahan publik terjadi di mana-mana. Hampir seluruh kota besar India bergejolak. Bahkan di Inggris pun, terjadi unjuk rasa untuk mengecam peristiwa keji tersebut. Tak cukup itu, transportasi khusus disiapkan untuk mengantar dan menjemput korban perkosaan ke dan dari rumah sakit di Singapore. Pemerintah pusat turun tangan langsung dan menempatkan kasus ini sebagai prioritas. Peran kepolisian disorot keras dan beberapa yang tidak bertindak tepat dihukum.
Keamanan di transportasi publik dikritisi. Pembenahan dilakukan di mana-mana dan gugus tugas untuk kasus ini dibentuk. Per 1 Februari 2013 semua buss umum harus dilengkapi webcam, CCTV dan GPS. Awak bus dan pengemudi taksi harus diverifikasi dengan kartu identitas jelas per 1 Maret 2013. Polisi berpakaian sipil ditempatkan di bus-bus dengan rute-rute rentan kekerasan. Diskotek harus tutup pukul 01.00. Nomor kontak langsung polisi (helpline 100) dan kekerasan terhadap perempuan (helpline 1091) disebarluaskan.
Selanjutnya, setiap kantor polisi harus memiliki satuan khusus pelayanan perempuan dan minimal dua wanita polisi piket pada malam hari. Pemerintah menyerukan agar sekolah-sekolah tidak menyewa bus umum tanpa diverifikasi polisi pemilik dan sopirnya.
Politisi dan tokoh publik yang bersuara miring terhadap kasus ini dikecam keras. Misalnya Asharam Bapu, tokoh spiritual dari Gujarat, yang mengatakan bahwa dalam kasus perkosaan, perempuan sama bersalahnya dengan para tersangka (karena keluar malam hari dan berpakaian seksi). Korban seharusnya memperlakukan para pelaku seperti saudara. Kontan saja, komentar tidak sensitif gender ini mengundang kecaman. Asharam Bapu langsung minta maaf secara terbuka (The Telegraph, 09/01/2013)
Di Desa Hisar di Haryana, India, pemuka masyarakat setempat menyerukan supaya para gadis tidak menggunakan telepon genggam. Mereka dilarang mengenakan t-shirt dan celana jeans. Seruan tersebut juga, kontan, mengundang reaksi keras pemerhati hak-hak perempuan. Katanya, telepon genggam dan pakaian bukanlah sebab utama perkosaan.
Pelajaran
India memang bukan negeri ideal untuk dijadikan benchmarking penegakan hukum. Angka kejahatatannya pun relatif tinggi. Apalagi pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan jalan raya, tak terbilang banyaknya. Namun, terlepas apakah India pascakasus gang rape sebagai pencitraan belaka, kebijakan taktis yang diambil secara hukum dan sosial politik patut diacungi jempol. Satu kasus perkosaan membuat seluruh negeri gempar dan muncul antisipasi.
Yang juga patut dipuji sikap kritis dan kemarahan public, termasuk advokasi para pemerhati hak-hak perempuan. Tak sekadar marah kepada pelaku, mereka juga mengkritik para penegak hukum, politisi yang tak bersuara lantang, hingga tokoh agama yang asal bunyi.
Pembelajaran lain, hukum India begitu melindungi korban. Sampai saat ini nama korban dan foto pelaku tak pernah diungkapkan jelas. Media massa pun menghormati ketentuan tersebut. Publik hanya tahu korban sebagai gadis muda berusia 23, mahasiswa Fisioterapi di New Delhi, tidak lebih. Sementara di Indonesia, rakyat begitu mudah tahu korban Y di Bengkulu atau identitas asli korban EP di Tangerang.
Indonesia harus lebih serius dalam memerangi perkosaan. Tidak cukup hanya mengutuk dan marah sesaat, lalu lupa. Penegakan hukum harus adil dan tidak semata-mata menyalahkan korban. Salahkan juga penegakan hukum yang lemah, aparat yang tidak awas, fasilitas kurang layak, dan mentalitas tidak sehat. Belum lagi peredaran miras, pornografi tidak terkontrol, serta peredaran narkoba yang massif. Semua berkontribusi pada lahirnya perkosaan.
Rumusan perkosaan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga harus direvisi. Definisi Pasal 285 KUHP (yang telah berusia nyaris satu abad) hanya memaknai perkosaan sebagai korbannya hanya perempuan yang bukan istrinya (bukan istri pelaku). Hukumannya maksimal hanya 12 tahun.
Padahal, saat ini perkosaan tidak hanya terjadi pada perempuan, yang bukan istri pelaku. Perkosaan bisa terjadi perempuan kepada laki-laki, sesama jenis, ataupun bisa terjadi dalam rumah tangga (marital rape). Hukuman maksimal 12 tahun juga sudah sepatutnya ditinjau. Perkosaan itu kejahatan luar biasa kejam. Penderitaan korban tidak hanya fisik namun juga mental dan sosial yang traumatik lama. Maka dari itu, sudah selayaknya hukuman pemerkosa tak cukup hanya 12 tahun. Negara harus lebih serius melawan pemerkosaan yang semakin menjadi-jadi.