Buku Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional yang ditulis oleh Prof. Agus Sardjono adalah edisi revisi ketiga sejak diterbitkan pertama kali di tahun 2010. Buku ini telah digunakan oleh banyak mahasiswa Fakultas Hukum diberbagai perguruan tinggi maupun praktisi hukum yang dibuktikan dengan beberapa kali cetak ulang oleh penerbit sebelumnya. Edisi revisi pada tahun 2022 dilakukan untuk merespon keberlakukan UU No. 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan (UU Pemajuan Kebudayaan).
Buku ini memiliki ikatan historis dengan UU Pemajuan Kebudayaan karena materi muatan UU Pemajuan Kebudayaan telah memformulasikan isi dan gagasan yang terdapat dalam buku ini. Argumentasi ini dapat dilihat dari kata pengantar yang ditulis oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Resensi buku ini difokuskan pada materi revisinya, khususnya untuk mengetahui bahwa UU Pemajuan Kebudayaan bisa memberikan manfaat untuk memajukan pengetahuan tradisional atau unsur kebudayaan lainnya bagi masyarakat Indonesia.
Memahami pemikiran seseorang yang dituangkan dalam buku, akan semakin mudah bila sedikit mengulas latar belakang penulisnya. Prof. Agus merupakan Guru Besar Fakultas Hukum UI yang dikenal secara luas sebagai ahli hukum HKI. Penelitian disertasi beliau juga mengenai HKI dan pengetahuan tradisional. Penelitian disertasinya menemukan kendala perlindungan dalam peraturan perundang-undangan HKI bagi masyarakat karena adanya perbedaan sistem sosial antara masyarakat lokal yang komunal dengan masyarakat dimana rezim HKI berasal. Berbeda dengan kebanyakan ahli hukum ekonomi yang sangat tertarik dengan ide transplantasi hukum untuk menciptakan kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi, Prof Agus justru mengambil sikap berbeda. Pemikiran Prof Agus dari berbagai tulisan beliau sejak awal karirnya telah menetapkan sikap intelektualnya, yaitu: pentingnya sistem sosial masyarakat Indonesia menjadi acuan utama dalam pembentukan peraturan hukum ekonomi.
Pilihan atas sikap intelektual Prof. Agus tidak diterapkan secara kaku. Penulis buku sebagai seorang akademisi hukum percaya bahwa tujuan utama kajian hukum adalah memecahkan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Pandangan inilah yang membuat pemikiran hukum Prof Agus tidak pernah berhenti ketika berhadapan dengan tembok hukum nasional maupun hukum internasional khususnya pada bidang HKI. Pandangan beliau tentang HKI komunal yang dahulu dinilai sebelah mata, sekarang justru mendapat tempat dalam diskursus maupun kebijakan HKI di Indonesia, serta forum internasional terutama di WIPO.
Edisi revisi buku ini mengulas peran penting keberadaan UU Pemajuan Kebudayaan bagi unsur kebudayaan yang ditemukan dalam masyarakat kita, yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olah raga tradisional. Menurut Prof. Agus tujuan pemberlakukan UU Pemajuan Kebudayaan harus dijadikan patokan bagi Pemerintah dan warga masyarakat secara keseluruhan dalam upaya mengembangkan, memanfaatkan, mempromosikan, dan melestarikan kebudayaan Indonesia.
Kebudayaan sebagai wujud dari hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia dapat bermacam-macam, bisa berwujud benda-benda tangible, maupun benda-benda intangible. Selanjutnya Prof. Agus menuliskan bahwa konsep HKI lebih banyak memfokuskan diri pada benda-benda intangible berupa hak dari manusia yang secara individual menghasilkan karya-karya kreatif. Sedangkan kebudayaan itu sendiri sejatinya adalah hasil karya manusia dalam sebuah kelompok tertentu, yang bisa saja dilingkupi oleh satuan wilayah tertentu atau etnik tertentu, yang dilakukan secara berulang-ulang dan turun temurun.
Prof. Agus mengambil contoh Subak, suatu kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang merupakan perkumpulan petani yang memiliki pengetahuan tradisional berupa teknologi pengelolaan air irigasi di lahan sawah. Subak sebagai contoh pengetahuan tradisional dalam buku ini sangat tepat sekali karena masih dipraktekkan sampai dengan sekarang. Eksistensi Subak diakui oleh Perda Provinsi Bali No. 9 Tahun 2012 Tentang Subak dan juga oleh UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia di tahun 2012. Pembaca buku ini diberikan contoh yang nyata untuk menjelaskan bahwa pengetahuan tradisional maupun unsur kebudayaan lain lahir dari kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang bersifat komunalistik. Pada kajian hukum adat, sifat komunalistik tersebut merupakan sumber utama pembentukan hukum adat. Perbedaan antara rezim hukum HKI yang berbasis individual dengan hukum lokal yang berbasis komunal telah menjadi konflik kepentingan yang berkepanjangan antara negara maju dan negara berkembang.
Penulis buku ini tidak ingin mempertajam konflik kepentingan tersebut, namun justru melihat bahwa UU Pemajuan Kebudayaan dan perundang-undangan HKI harus bersinergi dalam rangka memajukan kebudayaan. Menurut Prof. Agus, upaya pemajuan kebudayaan itu boleh jadi menghasilkan karya intelektual yang dalam konsep HKI dapat diberikan perlindungan berdasarkan sistem HKI. Pada bagian selanjutnya, materi buku ini menguraikan langkah-langkah pemajuan kebudayaan, berupa inventarisasi, pengembangan, pemanfaatan, promosi, dan pelestarian.
Pada bagian akhir, penulis buku meminta Pemerintah Indonesia untuk mengambil inisiatif untuk melindungi masyarakat lokal yang hidup tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Langkah tersebut harus tetap mengacu pada sistem nilai, baik yang berkembang di dalam lingkungan warga masyarakat lokal maupun dengan tuntutan pergaulan antar bangsa-bangsa di dunia. Berbagai alternatif langkah yang dimaksud antara lain melalui perangkat hukum, baik menciptakan perangkat hukum baru maupun memperbaiki ketentuan hukum yang sudah ada, ataupun dalam bentuk implementasi hukum.
Menurut Prof. Agus, langkah melalui perangkat hukum harus dilakukan melalui upaya penyerasian norma-norma hukum dengan nilai-nilai Barat yang individualistik dan nilai-nilai tradisional yang komunalistik, yang masih terus hidup berdampingan. Penulis buku mengambil contoh penyerasian nilai-nilai individualistik yang terkandung dalam rezim paten bisa dilakukan dengan amandemen ketentuan hukumnya yang memberikan pengakuan hak kolektif masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional mereka.
Sementara pada tataran implementasi hukum, Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah dapat mengambil peran sebagai custodian dari hak kolektif masyarakat lokal, dan mengambil insiatif mengembangkan peran aktif warga masyarakat dalam membela dan mempertahankan hak-hak mereka. Secara tegas, Prof. Agus menyampaikan agar mandat yang diberikan oleh UU Pemajuan Kebudayaan kepada Pemerintah harus disambut dengan semangat oleh Aparatur Pemerintah dalam bentuk program-program yang mendukung pemajuan kebudayaan.
Sebagian besar isi buku ini merupakan bagian dari hasil disertasi yang telah diuji kesahihan di Program Studi S3 FHUI, sementara tambahan materi edisi ketiga merupakan pengalaman Prof. Agus yang terlibat sebagai ahli dalam penyusunan UU Pemajuan Kebudayaan. Oleh karena itu, materi yang disampaikan dalam buku ini sangat berkualitas, mendalam dan menarik minat bagi pembaca yang ingin mengetahui HKI dan pengetahuan tradisional secara komprehensif, tidak hanya sebatas pada peraturan tertulis. Meskipun materi buku ini mungkin berat bagi sebagian mahasiswa baru Fakultas Hukum atau pembaca dari non hukum, namun penulis mampu menguraikan materi yang berat tersebut dalam tulisan yang ringan dan mengalir di setiap kalimat maupun paragraf. Buku ini layak dikoleksi sebagai salah satu buku hukum yang memberikan pencerahan bagi para pembacanya.