Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual
Pelaku kekerasan seksual masih mengancam masyarakat meski ancaman hukuman berat seperti kebiri telah diatur. Berbagai kasus kekerasan seksual, sayangnya, kerap terjadi di penjuru Indonesia dengan pemberitaan sangat eksplisit dan berulang-ulang. Tulisan Laras Susanti, “Menghadapi Kasus Kekerasan Seksual” (Kompas, 11/7), berhasil mengingatkan pentingnya menjaga kerahasiaan korban dari pemberitaan media. Lebih dari itu, kepentingan korban juga termasuk penuntasan penanganan kasus dengan penegakan hukum profesional.
Keadilan korban terpenuhi ketika pelaku dihukum dan korban menjalani proses yang tidak traumatis. Masalah utama penegakan hukum kasus kekerasan seksual belum sepenuhnya dijelaskan pada tulisan tersebut. Mengambil pelajaran dari pengaturan dan praktik penegakan hukum negara lain selayaknya juga dijabarkan. Kepentingan korban kembali gagal terlindungi jika penegak hukum gagal menangani kasus kekerasan seksual secara optimal. Korban kembali dikorbankan (reviktimisasi) pada penanganan kasus kekerasan seksual.
Permasalahan pertama ketika pemeriksaan laporan korban. Keterbatasan penegak hukum dalam mewawancarai korban sering kali merendahkan dan menyulut amarah korban. Korban kerap ditanyai apakah menikmati persetubuhan (orgasme) dan dihadapkan dengan pelaku.
Penegak hukum juga kurang profesional dalam mengumpulkan alat bukti. Dalam pengumpulan alat bukti, korban tak jarang juga terpaksa menghabiskan jutaan rupiah untuk mendapatkan visum.
Perlakuan itu membuat korban kian trauma dan enggan melaporkan kasus kekerasan seksual. Rendahnya pelaporan ini tentu menurunkan angka penanganan kasus kekerasan seksual. Dampak bahayanya, predator seksual masih bebas berkeliaran.
Ada baiknya korban diwawancarai di ruangan yang aman dan nyaman untuk memberikan keterangan. Penyampaian keterangan juga dapat direkam agar korban tidak perlu trauma karena mengulangi keterangannya berkali-kali. Perekaman tentu dengan menyamarkan wajah maupun suara korban.
Penegak hukum juga perlu mengembangkan penggunaan tes DNA sebagai alat bukti. Penggunaan tes DNA telah menjadi prosedur standar penegak hukum di negara lain karena kekuatan pembuktian tinggi. Dengan demikian, penegak hukum berpeluang besar menangkap pemerkosa sebenarnya dan membebaskan yang tidak bersalah.
Tes DNA berhasil membantu Jennifer Thompson, warga AS, menemukan pemerkosa sebenarnya. Jennifer diperkosa di rumahnya pada suatu malam tahun 1984. Jennifer pun menuduh Ronald Cotton sebagai pemerkosa hanya berdasarkan foto-foto yang ditunjukkan polisi. Atas tuduhan itu, Ronald mendekam di balik jeruji selama 11 tahun. Perjuangan Ronald tidak pernah padam, terutama dengan perkembangan teknologi DNA. Berkat tes DNA, Ronald yang tidak bersalah dapat menghirup udara dari luar jeruji. Selain itu, predator seksual sebenarnya diamankan dari masyarakat. Dalam buku yang ditulis bersama, Picking Cotton, Ronald dan Jennifer berkisah telah saling memaafkan dan bersama-sama mengupayakan reformasi penanganan perkara pemerkosaan di AS.
Di AS, organisasi Innocence Project mencatat, tes DNA berhasil membebaskan 342 orang tidak bersalah. Di sisi lain, 147 pelaku sebenarnya yang masih berkeliaran telah diamankan.
Riwayat seksual korban
Ketika perkara kekerasan seksual disidangkan, majelis hakim masih mempertimbangkan riwayat seksual korban untuk meringankan atau membebaskan terdakwa. Pengadilan Negeri Marisa dan Mahkamah Agung membebaskan pemerkosa karena korban memiliki riwayat seksual telah berhubungan seksual dengan pelaku yang juga pacarnya.
Majelis hakim mengabaikan fakta kekerasan (pencekikan) dan ancaman yang dialami korban. Menurut majelis hakim, kekerasan dan ancaman tidak terjadi karena korban tidak melawan atau menolak. Mereka juga menilai seharusnya korban melaporkan pada saat pertama kali persetubuhan terjadi dan bukan setelah berkali-kali disetubuhi.
Penegak hukum, terutama hakim, perlu belajar dari pertimbangan berbeda (dissenting opinion) hakim J Wilner dari Pengadilan Tinggi Maryland, AS. Pada 1979, Wilner berargumen korban pemerkosaan mungkin saja tidak melawan. Wilner mencantumkan data, hanya 12,7 persen korban pemerkosaan melawan secara fisik. Ketiadaan perlawanan cukup beralasan karena korban berpotensi menderita luka lebih parah jika melawan. Wilner mengutip data, 71 persen korban yang luka atau cedera ketika korbannya melawan dan 40 persen di antaranya perlu perawatan di rumah sakit.
Parlemen merespons dengan rape shield law yang mengatur proses penegakan hukum kasus pemerkosaan agar berpihak pada korban. Aturan itu menghapus keharusan korban untuk melakukan perlawanan. Alasannya, beberapa kasus korban pemerkosaan gagal melakukan perlawanan karena takut terhadap pelaku.
Aturan itu juga membatasi penggunaan riwayat seksual korban sebagai alat bukti di persidangan. Riwayat seksual hanya bisa dihadirkan di persidangan terbatas untuk membuktikan bahwa sperma atau luka berasal dari orang selain terdakwa.
Masih maraknya kekerasan seksual memaksa berpikir ulang bahwa langkah paling tepat menekan kejahatan bukan semata-mata menaikkan ancaman pidana. Ancaman hukuman ringan pun dapat menekan angka kejahatan asalkan penegakan hukumnya tinggi (Polinsky & Shavell, 2007). Beberapa aturan dan praktik baik penanganan kasus kekerasan seksual perlu diadaptasi. Permasalahan akut bukan pada rendahnya ancaman hukum, melainkan rendahnya sensitivitas dan kemampuan penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual. Sebaik apa pun hukumnya tidak akan tegak dan mengurangi predator seksual jika penegakan hukum lemah.
Choky Ramadhan, Ketua Harian/Executive Directore Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia FHUI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul “Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual”.