Kini, Choky Risda Ramadhan atau akrab disapa Bang Choky, merupakan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang tengah melanjutkan Program Doktoral di University of Washington, Amerika Serikat. Pria kelahiran Tangerang, 7 Mei 1988 ini tidak hanya dikenal sebagai dosen, tetapi juga seorang peneliti (aktivis).
Choky bercerita proses pembentukan dirinya menjadi dosen dan peneliti tidak bersamaan. Awalnya, dirinya lebih banyak meneliti dalam diskursus antikorupsi dan sistem peradilan sebagai peneliti sekaligus aktivis, nilai-nilai hasil penelitian kerap melahirkan tatanan kebijakan yang bisa terwujud. Hal ini dirasakannya ketika aktif di MaPPI FHUI sejak tahun 2010.
Saat mahasiswa di FHUI, Choky termasuk mahasiswa berprestasi yang sempat terpikir bercita-cita atau berkarir di corporate lawyer. Tapi, akhirnya dirinya lebih memutuskan untuk memilih aktivis (peneliti) dan profesi dosen ketimbang menjadi corporate lawyer. Meski umumnya, kata dia, biasanya jika lulusan FHUI yang berprestasi rata-rata memilih menjadi corporate lawyer.
“Ketika mahasiswa saya sudah aktif di BEM UI dan aktif di MaPPI FHUI dari sana jiwa aktivis saya muncul. Mungkin saja jika menjadi lawyer akan menjadi lawyer hebat, tetapi corporate lawyer bukan jalur yang saya pilih, Karena menjadi corporate lawyer, bukan orang yang bisa melakukan perubahan kebijakan atau sistem hukum,” kata Choky dalam talkshow live instagram bertajuk “Hukumonline Academy”, Jumat (9/10/2020). (Baca Juga: Bivitri Susanto, Menjadi Reformis Hukum Karena Terprovokasi Jalan Aktivis)
Choky mengaku pernah menerbitkan salah satu karya penelitian fenomenal bersama lembaga lain yang melahirkan kebijakan yakni Perma No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Perma No. 3 Tahun 2017 ini melahirkan asas-asas yang harus dipedomani hakim saat mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum. Seperti, asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia; nondiskriminasi; kesetaraan gender; persamaan di depan hukum; keadilan; kemanfaatan dan kepastian hukum.
“Penelitian ini dilakukan MaPPI FHUI dibantu LBH Apik, Komnas Perempuan, dimana saya terlibat didalamnya melakukan penelitian dan pembuatan Perma. Ini berangkat dari adanya disparitas putusan hakim yang memutus ringan pelaku pemerkosaan, padahal korban perkosaan sudah tidak perawan. Hasil penelitian ini bisa meyakinkan Mahkamah Agung, akhirnya terbentuklah Perma No. 3 Tahun 2017,” ujar Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI FHUI) periode 2012-2018 ini.
Selain mengajar hukum acara, Choky juga mengajar Klinik Antikorupsi di FHUI yang tidak menggunakan pengajaran konvensional karena memadukan knowledge, skill, and values yang ditanamkan ke mahasiswa. Choky menjelaskan knowledge, biasanya saat di kelas hanya mempelajari dan memahami bunyi pasal-pasal saja, tetapi klinik antikorupsi mempelajari irisan ilmu hukum dengan ilmu pengetahuan lain, seperti politik dan ekonomi.
Untuk skill, biasanya di kelas hanya diajarkan agar mahasiswa mampu berpikir menulis kritis secara ilmiah. Dengan skill, mahasiswa dapat melakukan kegiatan di luar perkuliahan, misalnya berperkara litigasi di pengadilan dan melakukan penelitian sekaligus menulis laporan hasil penelitian. Sedangkan value, klinik antikorupsi menanamkan nilai-nilai kejujuran.
“Mahasiswa hukum perlu mengasah keilmuan bidang lain yang beririsan dengan ilmu hukum, seperti ilmu politik, kebijakan publik, ekonomi,” saran dia.
Di era teknologi digital dewasa ini, mahasiswa pun mesti bisa beradaptasi dengan teknologi dalam upaya pengembangan dan pembaharuan hukum. Misalnya, menciptakan platform kompilasi putusan hakim disertai analisisnya yang mudah dipahami masyarakat. “Kita bisa menselaraskan hukum dan teknologi untuk mendorong kebijakan hukum yang tepat sasaran bagi masyarakat,” kata dia.
Dalam kesempatan ini, peraih gelar Master of Laws (LL.M) dari University of Washington, Amerika Serika pada 2014 ini berbagi pengalaman agar lulusan fakultas hukum bisa mendapatkan beasiswa Pendidikan S-2 di luar negeri. Pertama, memperluas jaringan. Kedua, aktualisasi diri dalam berorganisasi. Ketiga, gemar menulis baik penelitian maupun artikel yang telah dipublikasi.
Keempat, rekomendasi tokoh hukum. Kelima, terpenting harus bisa berbahasa Inggris. “Dulu, saya belajar bahasa Inggris mahal, saat ini teknologi berkembang, kita bisa khursus online dengan murah atau belajar secara online di situs-situs pembelanjaran bahasa Inggris,” tuturnya.
“Kebetulan saya banyak menulis penelitian yang dipublikasi dan banyak bertemu dengan tokoh-tokoh hukum. Kemudian mendapat rekomendasi tokoh untuk kuliah di luar negeri untuk apply beasiswa.”