"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Belajar dari Masyarakat Hukum Adat untuk Membangun Ekonomi Nasional Oleh Dr. M Sofyan Pulungan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Berita > Belajar dari Masyarakat Hukum Adat untuk Membangun Ekonomi Nasional Oleh Dr. M Sofyan Pulungan

PULIH Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat. Inilah tema besar peringatan hari ulang tahun (HUT) ke 77 kemerdekaan Republik Indonesia tahun ini.

Dalam Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2022, Presiden Joko Widodo mengungkapkan fundamental ekonomi Indonesia tetap sangat baik di tengah perekonomian dunia yang sedang bergejolak. Pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat memang sudah semestinya menyasar semua lini, termasuk ekonomi.

Sebagai salah satu pilar penting dalam berbangsa dan bernegara, ekonomi harus dibangun dalam akar, fondasi, dan fundamental yang kuat. Di antara hal penting yang mampu menciptakan fundamental ekonomi yang kuat adalah keberadaan regulasi.

Apa rujukan membuat regulasi ekonomi

Regulasi akan membimbing arah pembangunan nasional dan perlindungan bagi masyarakat. Lantas, apa yang semestinya menjadi akar dan rujukan saat pemerintah menyusun sebuah peraturan ekonomi?

Sejatinya, jawaban akan pertanyaan itu sudah tertulis secara gamblang dalam Pasal 33 UUD 1945. Bila makna yang terkandung dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 ditelaah secara historis dan filosofis, maka dalam sistem ekonomi nasional kepentingan nasional seharusnya dituangkan dalam kebijakan hukum yang berorientasi kepada kepentingan rakyat kecil, seperti kelompok petani, nelayan, buruh, atau pedagang kecil.

Sistem ekonomi yang berorientasi kepada kepentingan rakyat kecil disebut dengan beberapa istilah, seperti sistem ekonomi Pancasila atau sistem ekonomi kerakyatan. Di dalam Pasal 33 UUD 1945, tercantum sebuah nilai luhur yang sudah berlaku ratusan bahkan ribuan tahun di bumi Nusantara.

Nilai kegiatan ekonomi tersebut adalah asas kekeluargaan. Kita bisa belajar dari cara-cara kesatuan masyarakat hukum adat menjalankan kegiatan ekonomi berdasarkan asas kekeluargaan.

Misalnya, sektor pertanian di Kasepuhan Ciptagelar di Jawa Barat, kerajinan tenun di Nagari Pandai Sikek di Sumatera Barat, jasa pariwisata di Desa Adat Penglipuran, dan pengelolaan keuangan mikro melalui LPD di Desa Adat Kedonganan di Bali. Beberapa praktek di atas membuktikan betapa asas kekeluargaan menjadi faktor sangat penting dalam penyusunan dan melaksanakan kegiatan ekonomi masyarakat adat sampai saat ini.

Berdasarkan praktek keempat kesatuan masyarakat hukum adat di atas, ada empat nilai yang selama ini dijalankan kesatuan masyarakat hukum adat dan patut ditiru pemerintah ketika menyusun sebuah regulasi ekonomi. Nilai-nilai ini sangat sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

Pertama, nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan mengandung makna bahwa regulasi ekonomi seharusnya berdasarkan kepentingan banyak orang yang diwujudkan dalam nilai atau asas kekeluargaan.

Pada asas kekeluargaan, nilai perseorangan diharmonisasikan dalam kerangka besar nilai kebersamaan. Hak perseorangan tetap diakui, tetapi penggunaan hak tersebut tidak boleh mengabaikan kewajiban sebagai anggota masyarakat.

Ini artinya bahwa setiap hak perseorangan pada dasarnya tidak bersifat mutlak, namun selalu berfungsi sosial. Nilai ini sangat relevan dengan sila ketiga Pancasila: Persatuan Indonesia.

Kedua, nilai spritualitas. Nilai spritualitas mengandung makna bahwa regulasi ekonomi seharusnya bersumber dari moralitas yang hidup dalam masyarakat.

Bagi kesatuan masyarakat hukum adat, segala kegiatan ekonomi dan setiap keterlibatan anggota masyarakat di dalamnya adalah bagian dari menjalankan nilai spritualitas dalam kehidupan keseharian sebagai insan manusia maupun menjalankan perintah kekuatan yang menguasainya. Nilai ini sesuai dengan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Ketiga, nilai musyawarah mufakat. Nilai musyawarah mufakat mengandung makna bahwa regulasi ekonomi seharusnya didasarkan pada demokrasi ekonomi dengan melibatkan seluas-luasnya partisipasi masyarakat terutama para pemangku kepentingan.

Bagi kesatuan masyarakat hukum adat, nilai ini bukan saja bagian dari model penyelesaian sengketa, namun pada prakteknya juga digunakan sejak tahap perencanaan suatu kegiatan ekonomi.

Sejak perencanaan, nilai musyawarah mufakat dimanfaatkan untuk melibatkan seluruh anggota masyarakat merancang kegiatan ekonomi. Nilai ini sesuai dengan sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.

Keempat, nilai keseimbangan dan keselarasan. Nilai ini mengandung makna bahwa regulasi ekonomi seyogyanya menciptakan hubungan hukum yang humanis dan berkeadilan.

Bagi kesatuan masyarakat hukum adat, para pihak yang ingin melakukan suatu hubungan hukum memiliki kesadaran untuk menciptakan suatu hubungan hukum yang harmonis sebagai manusia, dan kondisi adanya saling ketergantungan berdasarkan ide keadilan.

Nilai ini sesuai dengan sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menggali nilai-nilai kesatuan masyarakat hukum adat

Selama 77 tahun Indonesia merdeka, ide transformasi ekonomi dan transformasi sosial digali dari nilai-nilai kesatuan masyarakat hukum adat. Namun, seringkali hal tersebut tidak serta merta hadir pada berbagai penyusunan regulasi ekonomi nasional.

Kebijakan yang berdasarkan penerapan nilai-nilai individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang identik dengan nilai-nilai Barat dikedepankan dalam pembuatan kebijakan terkait perekonomian nasional. Keadaan ini telah membuat banyak peraturan tidak didasarkan pada akar filosofis kuat dan kerap bentrok dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Sejarah pusat rempah dunia, kejayaan kopra, sentra tembakau, penghasil kelapa sawit sampai yang baru-baru ini dicapai yaitu prestasi swasembada beras harus termanifestasi dan dilindungi dalam bentuk kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Berbagai komoditas tersebut berhasil menorehkan prestasinya, namun harus disadari tidak lepas dari tekanan kampanye negatif yang nilai-nilainya berasal bukan dari bumi pertiwi.

Melihat fenomena itu, kita memang masih harus belajar dari kesatuan masyarakat hukum adat tentang cara menyusun regulasi ekonomi yang baik, berkelanjutan, dan mengutamakan rakyat kecil.

Sumber: https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/23/115552665/belajar-dari-masyarakat-hukum-adat-untuk-membangun-ekonomi-nasional?page=3

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI