"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Kekacauan Berpikir Pilkada Tidak Langsung

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Media > Kekacauan Berpikir Pilkada Tidak Langsung

RUU Pilkada

Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. RUU Pilkada ini mengatur bahwa calon gubernur diusulkan oleh (gabungan) fraksi di DPRD Provinsi (pasal 11). Komisi Pemilihan Umum kemudian akan meneliti dan menetapkan calon-calon gubernur. Mereka lalu menyampaikan visi, misi dan program sebagai gubernur secara terbuka untuk umum dan berlanjut dengan tanya jawab/dialog dengan anggota DPRD Provinsi (pasal 23).  Hak pilih gubernur ada pada anggota DPRD Provinsi (pasal 2 dan 27(1)).

Sementara untuk calon bupati/walikota RUU tersebut mengatur bahwa calon bupati/walikota diusulkan oleh partai politik atau perseorangan yang didukung sejumlah orang (pasal 71(1)). KPU kemudian akan meneliti dan menetapkan para calon bupati/walikota (pasal 74(1)). Mereka melakukan debat terbuka (pasal 88). Berbeda dengan pemilihan gubernur, untuk pemilihan bupati/walikota hak pilih ada pada setiap WNI (pasal 78).

Asas pemilihan untuk calon gubernur dan calon bupati/walikota adalah sama: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (pasal 2 dan 41). Namun yang dimaksud dengan “langsung” dalam pemilihan gubernur adalah suara anggota DPRD Provinsi tidak boleh diwakilkan kepada pihak lain (penjelasan pasal 2).

Berdasarkan RUU Pilkada yang terpublikasi dalam situs DPR tersebut, maka perubahan terjadi dalam pemilihan gubernur.

Reaksi terhadap RUU Pilkada
Cara pemilihan gubernur via DPRD Provinsi ini mengundang reaksi dari sejumlah pihak. Penolak perubahan secara keras berargumen bahwa kedaulatan rakyat akan terpasung dan terjadi kemunduran proses demokrasi. Sejumlah pihak mengkhawatirkan gubernur akan menjadi sapi perah partai politik. Sementara pendukung berargumen bahwa perubahan akan mengurangi politik uang dan biaya politik.

Martin Hutabarat (anggota Dewan Pembina Gerindra) mencoba membantah kekhawatiran ini dengan mengingatkan bahwa sistem yang Indonesia anut adalah “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Oleh karena itu, menurutnya, sistem pemilihan oleh DPRD adalah yang tepat karena merupakan musyawarah mufakat.

Ilegalitas Pilkada oleh DPRD Provinsi
Di bawah ini empat alasan hukum mengapa pilkada oleh DPRD Provinsi bukan saja tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tapi juga bertentangan dengan hukum Indonesia.

1. Kedaulatan tetap di tangan rakyat, bukan di tangan (anggota) DPRD Provinsi
Pasal1(2) UUD 1945 (Perubahan Kedua) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut [UUD]”. Lebih lanjut pasal 18(4) (Perubahan Kedua) menyatakan bahwa gubernur “dipilih secara demokratis”.

RUU Pilkada memberikan dua cara pelaksanaan “dipilih secara demokratis”. Pertama, pemilihan langsung oleh anggota DPRD Provinsi untuk gubernur. Kedua, pemilihan langsung oleh rakyat untuk bupati/walikota.

Konstruksi berpikir hukum dalam pemilihan gubernur oleh anggota DPRD tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terjadi kezaliman berpikir hukum sebagai berikut. Pertama, (gabungan) fraksi di DPRD Provinsi mengusulkan calon gubernur. Apakah dalam proses ini mereka akan memperhatikan aspirasi rakyat? Mungkin. Kedua, anggota DPRD Provinsi memilih satu dari para calon gubernur. Apakah dalam proses ini mereka akan memperhatikan aspirasi rakyat? Mungkin. Ketiga, setelah gubernur terpilih, DPRD Provinsi yang akan mengawasinya. Apakah dalam proses ini mereka akan memperhatikan aspirasi rakyat? Mungkin. Jika kinerja gubernur buruk, siapakah yang bertanggung jawab? Pengusul, pemilih, atau pengawas? Semua adalah pihak yang sama: DPRD Provinsi. Bagaimana pertanggungjawaban DPRD Provinsi atas kinerja buruk gubernur tersebut kepada rakyat? Kecuali rakyat menghukum dengan tidak memilih dalam pemilihan anggota DPRD Provinsi berikut, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban hukum kepada rakyat.

Terkait kinerja buruk gubernur, timbul masalah pertanggungjawaban moral (moral hazard). Jika DPRD Provinsi mengeksekusi hak interpelasi, angket atau menyatakan pendapat, bukankah mereka menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri?

Kezaliman berpikir hukum di atas jelas tidak sesuai dengan “kedaulatan berada di tangan rakyat”. Tidak saja rakyat terdepak dari proses demokrasi, namun rakyat juga tidak berdaya dalam menuntut pertanggungjawaban kinerja gubernur serta DPRD Provinsi.

Jika kita konsisten berpikir dalam kerangka UUD 1945, maka “dipilih secara demokratis” adalah pemilihan langsung oleh rakyat. Oleh karena itu pemilihan gubernur oleh anggota DPRD Provinsi tidak hanya rancu secara keilmuan, tapi juga bertentangan dengan UUD 1945.

2. DPRD Provinsi bukanlah pelaksana penuh kedaulatan rakyat
Rakyat memilih para anggota DPRD Provinsi untuk melakukan kewenangan yang spesifik, yakni: legislasi peraturan provinsi, anggaran provinsi, dan pengawasan kinerja gubernur. Untuk itu DPRD Provinsi dapat mengajukan hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat atas kinerja gubernur.

Di luar kewenangan yang spesifik tersebut, rakyat tidak menyerahkan kedaulatannya kepada DPRD Provinsi. Jika anggota DPRD Provinsi juga memilih gubernur, maka kewenangan tersebut tidak pernah diberikan oleh rakyat. Timbul pertanyaan, jika RUU Pilkada disetujui oleh Presiden dan DPR bukankah itu berarti rakyat sudah memberikan sebagian dari kedaulatannya lewat proses legislasi? Mungkin “ya”. Tapi jawaban semacam ini hanya dapat kita terima jika Presiden dan DPR mendengarkan secara terbuka semua reaksi pro-kontra yang ada, dan menanggapinya secara argumentatif dan persuasif. Pembahasan dan persetujuan RUU yang tergesa-gesa dan tanpa alasan rasional mengejar tenggat waktu adalah perbuatan melawan kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu pemilihan gubernur oleh anggota DPRD Provinsi adalah perlawanan terhadap kedaulatan rakyat.

3. Gubernur bukanlah mandataris DPRD Provinsi
Jika DPRD Provinsi yang memilih gubernur, maka secara konstruksi hukum ia adalah “mandataris DPRD Provinsi”. Namun RUU Pilkada secara ngawur mengatur bahwa para calon gubernur harus menyampaikan visi, misi dan program. Artinya, para anggota DPRD Provinsi akan memilih berdasar agenda pribadi calon. Padahal seorang mandataris seharusnya menerima agenda kerja dari pemberi mandat.

Bandingkan dengan Presiden sebagai Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat sebelum Perubahan UUD 1945. MPR terlebih dahulu menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara. Kemudian MPR memilih Presiden sebagai Mandataris, yang berkewajiban melaksanakan GBHN untuk lima tahun ke depan. Konstruksi hukum ini adalah yang benar.

Meski DPRD Provinsi mempunyai fungsi legislasi, namun hukum Indonesia tidak mengenal “garis-garis besar haluan provinsi”. Bukan saja produk hukum semacam ini tidak mungkin ada dalam suatu negara kesatuan, tapi juga karena gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat di provinsi. Di luar perihal otonomi daerah, gubernur harus menjalankan program nasional.

Oleh karena itu pemilihan gubernur oleh anggota DPRD Provinsi tidak hanya rancu secara keilmuan, tapi juga tidak tepat menurut hukum Indonesia.

4. Kewenangan dan Hak (anggota) DPRD Provinsi tidak mencakup memilih gubernur
Sebulan yang lalu Presiden baru saja mengesahkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. UU ini tidak memberikan kepada DPRD Provinsi kewenangan (pasal317) ataupun hak untuk memilih gubernur (pasal 322(1)). Sama halnya, anggota DPRD Provinsi tidak punya hak memilih gubernur (pasal 323).

Timbul pertanyaan, “Bukankah (R)UU Pilkada bersifat khusus dan UU 17/2014 bersifat umum, dan oleh karena itu akan berlaku (R)UU Pilkada terkait pemilihan gubernur?” Dalam bahasa hukumnya: lex specialis derogat lex generalis. Jawab: dalam hubungan antar-UU jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “benar”. Tapi keberlakuan suatu UU juga bergantung pada keabsahan UU tersebut terhadap UUD 1945.

Mengingat pembahasan di atas, maka pertanyaan ini menjadi tidak relevan karena secara substantif (R)UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu pemilihan gubernur oleh anggota DPRD Provinsi tidak sah menurut hukum Indonesia.

 

Pilkada tidak langsung sesuai dengan Sila IV?
Pendapat Martin Hutabarat di atas patut mendapatkan tanggapan. Untuk kepentingan ini biarlah saya lakukan secara singkat dan seperlunya.

Ia benar ketika mengacu kepada Sila IV. Memang sistem pemerintahan Indonesia yang sejati adalah kepemimpinan berdasarkan musyawarah mufakat. Hal ini nampak di setiap unit kemasyarakatan – dari negara sebagai unit terbesar sampai keluarga unit terkecil. Setiap pemilihan sebenarnya melibatkan musyawarah mufakat. Apakah itu terjadi secara terbuka maupun secara pribadi. Bisa lewat forum DPRD Provinsi, bisa juga dalam nurani rakyat pemegang hak suara.

Namun kebenaran argumentasinya baru sah jika berlaku secara universal. Jika pemilihan oleh DPRD Provinsi adalah musyawarah mufakat kita yang anut, maka pemilihan tidak langsung semacam ini juga harus terjadi untuk Presiden dan bupati/walikota. Pasal 6A(1) UUD 1945 (Perubahan Ketiga) dan pasal 78 RUU Pilkada berbeda pendapat dengan pemilihan gubernur. Oleh karena itu argumen ini, jika hanya tertuju untuk pemilihan gubernur, tidak dapat kita terima secara yuridis.

Potensi Masalah Hukum
Terlepas dari ilegalitas di atas, bilamana Presiden dan DPR menyetujui RUU Pilkada sebagaimana adanya kita akan berhadapan dengan potensi masalah hukum seperti berikut ini.

Pertama, apa sanksi bagi seorang anggota DPRD Provinsi yang tidak memilih calon gubernur yang diusung oleh (gabungan) fraksinya? Di satu sisi ia harus mendengar aspirasi rakyat pemilihnya, namun di sisi lain ia terikat wajib patuh dengan keputusan (gabungan) fraksinya.

Kedua, apa sanksi bagi gubernur yang ingkar-janji terhadap pemaparan visi, misi dan programnya namun patuh terhadap keputusan Pemerintah Pusat? Di satu sisi ia terpilih karena pemaparan tersebut, namun di sisi lain ia adalah wakil Pemerintah Pusat di provinsi.

Ketiga, bila (gabungan) fraksi DPRD Provinsi tidak lagi sejalan dengan program kerja gubernur yang diusungnya, apakah mereka bisa mengeksekusi hak interpelasi, angket atau menyatakan pendapat?

Langkah yang harus ditempuh
Lalu apakah yang harus Presiden dan DPR lakukan? Presiden atau DPR harus menarik diri dari pembahasan RUU. Penarikan diri akan membatalkan pembahasan RUU Pilkada, dan akhirnya ia gugur.

Jika Presiden dan DPR menyetujui RUU Pilkada sebagaimana adanya, mereka hanya akan menunjukkan kepandiran berpikir sebagai lembaga negara. Lebih dari itu, mereka akan secara terbuka melawan kedaulatan rakyat. Mengingat masa jabatan mereka segera berakhir, melanjutkan pembahasan RUU Pilkada tidaklah menunjukkan “hikmat kebijaksanaan”.

Dari selasar.com Selasa, 16 September 2014

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI