"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

DOSA GANDA KORUPSI KTP-el

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > DOSA GANDA KORUPSI KTP-el

DOSA GANDA KORUPSI KTP-el

 Sulistyowati Irianto

Guru Besar Antropologi Hukum, FH UI

Paradigma yang menempatkan hakim sebagai corong Undang-Undang sudah ketinggalan jaman.  Kecuali bila pandangan tersebut dijadikan  cara untuk “mencari selamat” dalam artian luas ketikahakim mengadili suatu perkara; dan tidak mempedulikan  dampak putusan“hukum buta” (black letter of law) yang mengoyak rasa keadilan masyarakat.Sesungguhnya hakim berpeluang emas untuk membuat hukum baru melalui putusannya,terutama ketika hukum tidak bisa mengikuti pesatnya perkembangan masyarakat. Namun  dalam kasus korupsi E-KTP nampaknya hakim telah menyia-nyiakan peluang untuk membahagiakan masyarakat yang sudah lama haus keadilan. Putusan itu juga merupakan bahan pelajaran buruk bagi para mahasiswa hukum, yang kelak akan menjadi penegak hukum di masa depan.

Hukum berkembang sangat lambat, karena kendala politik dalam proses perumusan legislasi. Sementara masyarakat berkembang sangat cepat terutama dalam era teknologi digital saat ini.  Jurang besar di antara keduanya seharusnya dapat dijembatani oleh hakim  melalui putusannya. Itu sebabnya putusan hakim mendapat kedudukan tinggi sebagai hukum buatan hakim (judge made law), bahkan  secondary legislature(Barack, 2005). Hukum Belanda sendiri, yang akarnya sama dengan hukum Indonesia, telah mengalami perubahan. Di negara penganut sistem kodififikasi hukum itu, saat ini putusan hakim berkedudukan penting sebagai sumber hukum. Hakim bukan lagi corong UU, tetapi putusannya menjadi hukum itu sendiri.

Keadilan Prosedural vs Substantif

Keadilan hukum tidak selalu identik dengan keadilan sosial. Keadilan hukum adalah keadilan teknikal, prosedural, terpenuhinya kecocokan bukti  dan bunyi Pasal. Sementara keadilan sosial adalah keadilan substantif, cara berhukum  yang membudaya, atau menjadi pedoman hidup tentang apa yang boleh dan yang dilarang demi kelangsungan hidup bermasyarakat.

 Dalam ranah keadilan prosedural, seorang (miskin)  dapat dengan mudah diputuskan untuk dipidana penjara ketikaberita acara polisi, barang bukti, dan tuduhan jaksa, semuanya cocok dengan bunyi Pasal “Barang siapa tertangkap tangan mengambil milik orang lain, maka…” Tidak dipersoalkan dalam konteks sosial ekonomi dan kedaruratan seperti apa peristiwa dan pelaku sehingga ia bisa sampai pada situasi tersebut. Namun dalam beberapa kasus hukum lain,yang  terjadi justru sebaliknya, yaitu hakim memutus perkara melampaui batas kewenangannya. Beberapa kasus korupsi yang memenangipraperadilan, termasuk kasus E-KTP ini, menunjukkan bahwa hakim yang ranahnya sebatas prosedur,  justru memasuki substansi perkara.

 Hukum dan Kemiskinan.

Ternyata hukum termasuk determinan faktor bagi terjadinya kemiskinan. Sejak gagalnya berbagai program pengentasan kemiskinan, disadari bahwa kemiskinan bukanlah soal ekonomi semata. Terdapat empat milyar orang hidup dalam kemiskinan di dunia ini, karena mereka terabaikan dari akses keadilan dan sistem rule of law (sistem di mana hukum dapat dimengerti secara jelas) (CLEP 2009). Kemiskinan adalah buatan tangan manusia,disebabkan  gagalnya sejumlah kebijakan publik dan hukum. Tidak ada ruang bagi orang miskin untuk didengar suara dan kebutuhannya dalam proses pengambilan keputusan di berbagai tingkat pusat sampai desa. Para perumus hukum dan kebijakan tidak menghitung pengalaman orang miskin dalam produksi legislasi dan kebijakan publik.

Kegagalan program pembangunan hukum yang diberi nama Law and Development Movement tahun 1960-an dan Rule of Movement tahun 1990-an, yang didisain bagi negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan  Amerika Latin, adalah bukti. Tujuan menciptakan demokrasi, reformasi hukum dan pengentasan kemiskinan tidak sepenuhnya terwujud setelah menghabiskan banyak dana. Produk legislasi dan kebijakan bersifat elitis, dibuat oleh para petinggi hukum dan pihak donor, dan produknya  teralienasi dari realitas kemiskinan.

Barulah pada tahun 2000-an terdapat program yang belajar dari kesalahan sebelumnya, yang diberi nama Legal Empowerment dan Akses Keadilan yang dirancang secara khusus, afirmatif, untuk kelompok marjinal dengan melibatkan partisipasi orang miskin, perempuan dan minoritas. Dengan memberi akses keadilan kepada kelompok tertinggal, maka demokrasi, peradilan yang bersih, dan pemerintahan yang bertatakelola diharapkan dapat terjadi.

Program Akses Keadilan untuk kelompok tertinggal, adalah yang paling tepat bagi Indonesia. Setidaknya terdapat empat pilar yang dapat ditawarkan untuk dapat mewujudkannya yaitu: (1) Tersedianya hukum yang baik bagi orang miskin; selanjutnya adalah akses bagi orang miskin terkait (2) pengetahuan hukum, (3) bantuan hukum dan (4) identitas hukum termasuk KTP, surat lahir, surat kawin, dan surat kepemilikan harta.

Hukum yang baik adalah yang perumusannya mengakomodasi keadilan bagi kelompok tertinggal. Reformasi hukum dapat dilakukan terhadap produk hukum yang tidak akomodatif terhadap orang miskin dan perempuan. Dalam hal ini, putusan hakim dapat digolongkan sebagai hukum baru. Bila ada satu saja putusan hakim yang berdampak perubahan ke arah perbaikan, maka reformasi hukum dianggap sudah terjadi.

 Literasi hukum atau menjadi melek hukum sangat penting bagi kelompok tertinggal, karena ia dapat melindungi dirinya dari penegakan hukum yang salah atau kesewenangan aparat penegak hukum. Selanjutnya adalah akses bantuan hukum bagi orang miskin berupa konsultasi dan dampingan ketika mereka berhadapan dengan hukum,  menjadi penting.

Dosa Ganda

Akses kepada identitas hukum adalah elemen yang tidak kalah pentingnya karena  kartu identitas  merupakan karcis masuk untuk mengakses berbagai program kesejahteraan, pendidikan, kesehatan  dan layanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun komunitas. Skema asuransi kesehatan dan layanan pendidikan yang dilahirkan selama masa Jokowi atau pemerintahan Ahok di DKI menjadikan KTP sebagai syarat awal eligibilitas seseorang untuk dapat mengakses program pemerintah. Identitas kepemilikan rumah atau tanah, betapapun kecilnya,  dapat dijadikan kapital bagi orang miskin dengan cara diagunkan ke bank.

 Kelompok tertinggal, pemeluk agama kepercayaan (leluhur)  banyak dikalahkan di pengadilan dan kehilangan tanah ulayatnya, karena ketiadaan akses yang adil dalam kepemilikan kartu identitas (KTP) dan sertifikat tanah, dan bisa berujung pada proses pemiskinan juga.

 Menghalangi pengadaan identitas hukum, berarti memutus akses orang miskin untuk mendapatkan keadilan. Artinya, mengucilkan orang miskin dari aksesnya terhadap progam kesejahteraan yang dirancang  khusus untuk mereka, dan berdampak luas menjadikan mereka tetap miskin. Melakukan korupsi pengadaan E-KTP adalah dosa berganda, di samping dosa kepada mereka yang miskin, juga merupakah kejahatan  telah merugikan negara dengan cara memperkaya diri sendiri/orang lain dan menyalahgunakan kewenangan.

Tidak kah hakim memilliki pengetahuan tentang hubungan antara pengadaan identitas hukum dan kemiskinan, sehingga dapat mengerti mengapa putusan praperadilan kasus E-KTP dianggap melukai hati rakyat ?

Artikel ini dimuat di Kompas, Sabtu 7 Oktober 2017.

About the author

➖ Kampus UI Depok Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus FHUI Gedung A Depok 16424, Jawa Barat Telepon (021) 7270003, 7863288 Faks (021) 7270052. E-mail: humas-fh@ui.ac.id & lawschool@ui.ac.id ... ➖ Kampus UI Salemba Gedung IASTH Lt. 2, Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta 10430 Tel : (021) 31909008 Faks : (021) 39899148
Humas FH UI