"VOX POPULI VOX DEI" Suara Rakyat adalah Suara Tuhan.

Suparjo (Laras Post): 54 Tahun UUPA 1960 dan Cita-cita Keadilan Sosial (Perspektif Hubungan Manusia dengan Tanah)

Fakultas Hukum Universitas Indonesia > Rubrik > Suparjo (Laras Post): 54 Tahun UUPA 1960 dan Cita-cita Keadilan Sosial (Perspektif Hubungan Manusia dengan Tanah)

Pada momen historis tanggal 24 September 1960 diperingati UUPA mulai berlaku dalam upaya mengatur hubungan tanah dengan manusia dalam ranah dan rejim hukum nasional. Tanggal itu dan menjadi kebiasaan diperingati sebagai “Hari Tani Nasional”.

Riwayat panjang pengaturan hubungan manusia dengan tanah di Indonesia telah menjadi pertimbangan dan dasar pemikiran penyusunan dan pemberlakuan UUPA. Adalah kasunyatan sejarah kelam masa kolonial, yang memberikan kisah penderitaan para leluhur kita. Hal itu dapat dijelaskan dalam karakter hubungan manusia dengan tanah ketika itu yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Eksploitasi tanah dan manusia menjadi ciri atau karakter dominan masa itu.

Praktek kebijakan “Cultuur Stelsel” (tanam paksa), penerapan politik “Domain Negara” dalam Agrarische Besluit sebagai pelaksanaan Agrarische Wet 1870 yang kejam. Prof.Boedi Harsono,SH, seorang tokoh penting dalam perumusan UUPA memberikan ilustrasi keadaan itu dalam salah satu sub-bab bukunya dengan judul “Domein Verklaring memperkosa hak-hak rakyat pribumi”. Hal itu karena dampak pemberlakuan Domein Verklaring, itu adalah sarana mengambil tanah-tanah rakyat pribumi yang tidak memiliki tanda bukti tertulis. Tanah-tanah itu kemudian menjadi “Tanah Milik Negara”, yang dipergunakan untuk mendukung politik pertanahan ketika itu bagi kepentingan penanaman modal terutama sektor perkebunan secara besar-besaran.

Para pendiri Negara yang menjelang kemerdekaan 1945, pun memiliki kesadaran akan kondisi seperti itu. Sehingga dengan semangat menentang imperialism saat itu dalam rapat-rapat BPUPKI ketika membicarakan konsepsi dasar-dasar pembentukkan Negara juga membahas hubungan manusia dengan tanah dan cita-cita keadilan sosial (Misalnya: Muh. Hatta, Soekarno, Soepomo). Ketiganya pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa hubungan manusia (Bangsa Indonesia) dengan bumi Indonesia, haruslah bebas dari penindasan, praktek eksploitasi dan justru harus membawa kemakmuran.

Nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam hubungan manusia dengan tanah di Indonesia itu, kemudian diwujudkan dalam UUD Negara RI 1945 Pasal 33 ayat (3), dan pada akhirnya bermuara pada kaedah-kaedah pengaturan dalam UUPA 1960 atau limabelas tahun sesudahnya. Dalam perjalanan waktu kemudian UUPA, yang mengusung visi-misi membawa ke-arah keadilan sosial pada ranah hubungan manusia dengan tanah mengalami dinamika fundamental.

Ada beberapa tonggak sejarah yang patut diungkapkan berkenaan dengan keberlakuan UUPA, yaitu berupa pergolakan politik di negeri ini: pertama, pada dekade 1960 hingga dekade 1990 kedua, pasca reformasi 1998. Dekade 1960 dampak pergolakan perang dingin yang menimbulkan gejolak politik dalam negeri Indonesia dan berakhir pada peralihan kekuasan Soekarno kepada Suharto. Dampak peralihan kekuasaan itu pada ideologi adalah sistem sosialisme Indonesia yang diganti kapitalisme perusahaan-perusahaan multi-nasional sebagai pelaku investasi dominan. Konfigurasi kekuatan kapitalisme itu, sebagai bentuk konsesi kemenangan Amerika sebagai pemimpin blok barat-kapitalis yang mengalahkan pengaruh komunis di Indonesia. Maka visi dan misi UUPA yang menuju kesejahteraan sosial terpinggirkan. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria dibelokkan kearah liberal-kapitalis. Program-program sosialis-komunal, seperti program landreform menjadi wacana belaka. Padahal dalam keberlakuan UUPA, landreform adalah salah satu tonggak penting pembangunan hukum tanah dan pembangunan nasional pada umumnya. Landreform adalah solusi mutlak kondisi menjelang berlakunya UUPA, bahkan hingga kini dalam hal ketimpangan penguasaan tanah yang terpusat pada kekuatan-kekuatan ekonomi yang dekat dengan kekuasaan.

Pada pasca reformasi 1998, yang terjadi adalah pemerintahan baru harus melaksanakan program-program IMF yang memberikan pinjaman pada akhir masa kekuasaan Suharto. Corak liberal dan dibawah kekuatan kapitalisme internasional, lembaga keuangan dunia. Hal itu dapat dilihat dalam berbagai program kebijakan yang harus dijalankan, misalnya: privatisasi BUMN, penghapusan subsidi pertanian, bahan bakar minyak (BBM), kian membuat jauh jangkauan kesejahteraan sosial yang menjadi visi dan misi UUPA.

Ada harapan baru berkenaan era demokratisasi dalam pengisian jabatan lembaga tinggi Negara, khususnya eksekutif (presiden dan wapres) dan lembaga legislatif (DPR) melalui pemilihan langsung. Dalam wacana melaksanakan cita-cita keadilan sosial, maka sistem pemilihan langsung yang diterapkan pasca reformasi 1998 itu menimbulkan kewajiban moral dan tanggungjawab konstitusional yang lebih besar pada lembaga tinggi Negara itu. Legitimasi kekuasaan eksekutif dan legislatif amatlah kuat, adalah modal dasar dan kekuatan politik utama dalam mengupayakan keadilan sosial melalui pelaksanaan UUPA. Keterikatan dengan kekuatan kapitalis dan liberalis pasca penandatangan LOI-IMF, dan kesepakatan dalam berbagai forum kerjasama ekonomi global, regional tidak boleh merugikan kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang paling penting adalah kemakmuran rakyat sebagai refleksi keadilan sosial. Dalam konteks seperti itulah, political will dari penyelenggara Negara dalam memandang hubungan manusia dengan tanah.

UUPA, sebagai produk hukum yang digodok sejak 1945 itu sarat dengan keadilan sosial sebagaimana cita-cita pembentukkan Negara RI sebagaimana ditemukan dalam Pembukaan UUD Negara RI 1945. UUPA memberikan pengaturan supaya hubungan manusia dengan bumi, air, angkasa dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dapat menjangkau tujuan itu. Pengaturan yang harus dapat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, di dalam UUPA harus diterjemahkan dalam nafas nilai-nilai luhur Pancasila adalah tugas Negara (pada organ kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif). Hal itu mengingat bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terdapat di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA).

Jadi para penyelenggara kekuasan Negara dalam pengartian seperti itu, harus memandang urusan hubungan manusia dengan sumber agraria adalah bersendikan keadilan. Penguasa Negara adalah wakil Tuhan di muka bumi dalam mengurusi rakyat-nya. Amanahlah para penyelenggara Negara yang sudah memperleh mandat dari rakyat, untuk menciptakan keadilan sosial.

Presiden baru Jokowi yang sudah mencanangkan akan menggunakan “Tri Sakti” salah satu ajaran Soekarno dalam menjalankan political will kemandirian bangsa dan Negara. Tri Sakti adalah ibarat senjata-pusaka bagi Jokowi untuk bersungguh-sungguh melaksanakan amanat penderitaan rakyat sebagaimana gagasan Soekarno perihal ideologi membangun negara besar ini di tengah pertarungan global, regional. Pada akhirnya hal itu kembali pada peranan Negara sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai terjemahan atau penjabaran kekuasaan Negara di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara RI 1945. UUPA ibaratnya sudah memberikan acuan norma-norma agar hubungan bangsa Indonesia dengan tanah adalah merefleksikan kondisi murah sandang-pangan, tersedianya lapangan kerja, dan fasilitas kesejahteraan umum, hingga jaminan hari tua.

Kegagalan masa lalu pelaksanaan UUPA, adalah karena UUPA dibaca dengan ideologi kapitalisme-liberalisme dan bukan dengan ideologi Pancasila. Nilai-nilai luhur dalam Pancasila dimulai dengan nilai Ketuhanan yang diakhiri dengan nilai Keadilan Sosial. Dalam pandangan penulis jika Negara ini akan menjalankan UUPA dengan sungguh-sungguh dalam merealisasikan hubungan manusia dengan tanah sebagai sebentuk rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akan mampu mendekati capaian keadilan sosial. Hal itu dengan prasyarat: pertama, memahami dan menerapkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, kedua, menjaga solidaritas dan persatuan nasional, ketiga, guyub-rukun, tumbuhnya musyawarah, lembaga perwakilan. Itulah prasyarat logis-ideologis dalam melaksanakan hukum di Indonesia, karena Pancasila adalah sumber bagi norma hukum di Indonesia, termasuk UUPA sebagai produk hukum yang dikenal sebagai produk hukum yang Pancasilais, namun belum dilaksanakan berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. Melaksanakan UUPA dengan cara itulah satu-satunya cara akan menggapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan kekayaan di tangan asing atau segelintir orang serakah.

Artikel ini sudah dimuat dalam “LARAS POST” Edisi 25/TH 1/29 Sept-12 Oktober 2014, halaman 2

Suparjo

Humas FH UI